Lama kuamati rumah ini. Rumah yang lebih dari lima tahun kutinggalkan demi mengejar cita-citaku. Tiba-tiba kerinduanku pada sosok ayah kian menyeruak. Ya, rumah ini menyimpan berbagai kenangan bersama ayah. Namun sosok lelaki yang selalu menjadi penyemangat hidupku bahkan yang mendorongku hingga menjadi seperti ini, kini telah tiada. Air mata ini tiba-tiba tumpah kala mengenang segalanya tentang ayah. Ayah adalah sosok panutan bagi keluarganya, yang selalu sabar dan tak bosan untuk berjuang demi hidupnya.
Aku masih ingat betapa
ayah demikian gigihnya memperjuangkan hidup, karena baginya hidup adalah sebuah
panggung sandiwara yang siap diperankan.
Ia tak pernah mengeluh walau harus jatuh bangun. Sampai akhirnya rumah
ini bediri.
Hmmm, masih lekat
dalam ingatanku, kala aku kecil, banyak tetangga menganggap kami keluarga
kaya. Tanah yang luas, dengan
dikelilingi pohon rambutan, sementara ditengahnya berdiri rumah besar nan
megah. Ya, dulu rumah ini kelihatan
megah. Mereka bilang bak istana yang
berdiri di tengah kampung.
Kini….rumah ini tak
ubahnya seperti bangunan kuno yang tak terawat.
Atapnya rapuh, pintunya keropos di makan usia. Bak tenggelam oleh bangunan-bangunan modern
di kiri kanannya. Sementara ibuku, tak
bisa memperbaiki rumah ini. Gaji
pensiunan janda polisi hanya cukup untuk menyambung hidup. Sungguh miris mendengarnya. Dan aku…aku berjanji akan mengumpulkan
segenap puing-puing jiwaku untuk kembali bersemangat, mempertahankan rumah ini
menjadi kokoh.
Agaknya aroma tanah
basah bekas guyuran air hujan semalam kian tajam. Aku semakin menyimpan kerinduan pada sosok
ayah. Apalagi, tanpa sengaja seorang
tukang es dengan lantangnya menjajakan esnya.
Duh…hati ini semakin trenyuh.
Dulu, pernah ayah memaksaku untuk membeli 4 bungkus es saat hujan tiba,
kata ayah kasihan tukang es itu, dia juga butuh uang untuk menghidupi
keluarganya, kalau dagangannya tidak laku bagaimana anak-istrinya bisa makan? Itulah
ayah, jiwa sosialnya selalu hadir ketika melihat orang yang sangat membutuhkan
uluran tangannya.
Yah…aku tak akan
pernah melupakan semua kenangan itu.
Setiap mencium aroma khas tanah basah bekas guyuran hujan, seolah hatiku
tercabik, ingatanku kembali terpatri pada rumah ini dan almarhum ayah. Ayah maafkan anakmu yang belum bisa
memberikan apa-apa kepada ayah. Janjiku…
kan selalu kujaga ibu dan kupertahankan rumah ini, rumah yang menjadi sejarah
perjuanganmu.
"Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Cerita Di Balik Aroma yang diadakan Kakaakin"
4 Komentar
Gak ada yang abadi ya. Yang dulu megah, sekarang sudah tertinggal :)
BalasHapusTidak sedikit memang rumah2 tua bernasib seperti itu. Semoga rumah kenangan tetap bisa dipertahankan ya... :)
Terima kasih sudah ikutan pada GA Cerita di Balik Aroma :)
Amin YRA.....terima kasih kembali
Hapus"Dia juga butuh uang untuk menghidupi keluarganya, kalau dagangannya tidak laku bagaimana anak-istrinya bisa makan?" hmm.. sungguh pelajaran yang mulia.
BalasHapusSemoga almarhumah ayah mbak disana tersenyum saat melihat kegigihan putrinya mempertahankan dan punya cita2 untuk merenovasinya :)
Terima kasih partisipasinya, Mbak, sudah tercatat sebagai peserta :)
Amin YRA....terima kasih kembali
HapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...