Bersuamikan seorang tentara tentunya menjadi kebanggaan tersendiri bagiku. Apalagi ketika melihatnya saat berseragam loreng. Uhh....sungguh gagahnya suamiku.
Namun.....di balik gagahnya berseragam, tentara adalah manusia, sama seperti mereka-mereka yang dilingkupi berbagai peristiwa kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, suamiku menduduki sebuah jabatan yang membuat kami sekeluarga semakin sibuk. Yah...disibukkan dengan carut marutnya permasalahan. Bukan hanya masalah pribadi, atau masalah keluarga, bahkan lebih itu. Kami harus bisa menyelesaikan permasalahan anggota.
Kadang aku melihat suamiku pulang kantor dengan muka masam karena ada permasalahan di kantornya. Di lain waktu aku melihatnya begadang karena harus menyelesaikan tugasnya yang digunakan untuk keesokan harinya. Bahkan, tak jarang tugas itu datang secara mendadak. Dini hari karena perintah pimpinan suamiku harus berangkat bersama anggotanya ke hutan untuk sekedar mencari kayu atau meninjau bangunan camp-camp di pedalaman. Yah...itulah tugas tentara, seberat apapun harus tetap dilakukan, karena itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya.
Tak jarang suamiku harus masuk rumah sakit karena tubuhnya rapuh untuk melawan gigitan nyamuk anopheles. Aku masih ingat kala suamiku ditugaskan di pedalaman Papua, enam bulan berturut-turut aku harus menunggui suamiku di rumah sakit. Malaria itu agaknya enggan meninggalkan tubuh suamiku. Sedih ketika melihat tangannya dipenuhi bekas suntikan jarum infus. Resmi semuanya menguras tenaga, pikiran, waktu dan keuangan kami.
Di lain waktu suamiku harus menyelesaikan permasalahan anggotanya. Kadang ada yang mabok, kecelakaan atau cekcok sesama rekannya. Yah.....itulah yang memang harus kami hadapi.
Bahkan....aku.... meskipun hanya berstatus sebagai istri pendamping suami, bukan berarti duduk manis di rumah. Banyak permasalahan timbul yang mengharuskan aku pandai membagi waktu antara urusan keluarga dan urusan ibu-ibu anggota.
Pernah suatu hari seorang ibu datang hanya karena berebut slang air dengan tetangganya. Maklum, daerah kami sangat susah air, jadi air mengalir secara bergilir. Inilah diperlukan sebuah kesabaran untuk mendapatkan air itu sampai pada giliran kita. Kalau tidak sabar......ya cekcoklah pada akhirnya. Dan akulah yang harus menyelesaikan cekcok itu.
Bukan hanya masalah air, cekcok dengan suami gara-gara masalah sepele, atau bahkan adu mulut dengan tentangga karena terlalu kencang membunyikan tape-nya, itupun harus kuselesaikan dengan baik. Nyaris rumahku dijadikan pondok penyelesaian masalah, karena ibu-ibu yang mempunyai masalah selalu datang ke rumah mengadukan masalahnya, kapanpun tanpa mengenal waktu. Dan aku memang harus bisa membantu mereka menyelesaikan permasalahannya apapun bentuk permasalahannya.
Di samping itu, kegiatan yang harus kuikutipun juga sangatlah padat. Dan tidak mungkin aku membawa Fawwaaz, anakku, untuk ikut serta dalam kegiatanku. Selain tidak etis, Fawwaaz juga harus bersekolah. Sementara di rumah, aku tidak mempunyai seorang pembantu untuk menjaga Fawwaaz. Akhirnya aku meminta bantuan ibu-ibu anggota untuk menjaga Fawwaaz atau mengantarnya ke sekolah. Pernah suatu hari, tanpa kuduga ada perintah mendadak yang harus kulakukan, aku harus pergi menghadiri sebuah kegiatan, sementara Fawwaaz masih tidur. Ujung-ujungnya kutelpon tetangga untuk datang ke rumah. Tak berapa lama tetanggapun datang, langsung diangkatlah Fawwaaz dari tempat tidurnya, di gendong dalam keadaan tidur. Sungguh aku merasakan kehidupan di asrama yang kekeluargaannya cukup tinggi, kami sudah merasa satu keluarga.
Anehnya.....Fawwaaz memberikan berkah kepada orang lain. Setiap tetangga yang kumintai bantuan untuk menjaganya ujung-ujungnya pasti hamil. Tiga orang ibu akhirnya hamil gara-gara ikut menjaga Fawwaaz. Subhanallah......Hal inilah yang membuat aku harus lari sana sini mencari ibu-ibu yang sekiranya cocok dan bisa dimintai tolong untuk menjaga Fawwaaz. Tak jarang Fawwaaz pulang dengan kepala benjol atau kaki memar. Akupun tak mau menuduh yang bukan-bukan kepada ibu-ibu. Dari situlah akhirnya aku mencari dua orang ibu yang sudah tua yang kuanggap bisa menjaga Fawwaaz.
Semakin lama, tingkah Fawwaaz semakin membuat aku pusing. Aku menyadari, karena terlalu seringnya kutinggal, sehingga Fawwaaz lebih menganggap orang lain sebagai orang tuanya, bukan aku. Duh....trenyuh bila mengambil Fawwaaz sambil menangis meronta-ronta, seolah dia tidak mau pulang ke rumahnya sendiri.
Suasana seperti itulah yang kadang membuat aku dan suami merasa benar-benar jenuh. Rumah yang seharusnya memberi ketenangan, ternyata membuat kami kembali bermuka muram. Kami lelah dengan aktifitas kami masing-masing, sampai-sampai urusan keluarga harus dinomorduakan dan anak lebih memilih orang lain ketimbang kami orang tuanya. Sedih sekali rasanya hati ini. Keluarga kami jadi hambar, nyaris tak ada tanda-tanda keceriaan atau keharmonisan didalamnya. Dan kami ingin menyudahi semua rasa ini.
Suatu hari, tepatnya saat skep pindah satuan suamiku keluar, aku mengambil sebuah keputusan. Sebuah keputusan yang mengharuskan kami untuk hidup terpisah. Suami berangkat ke tempat tugas yang baru, sementara aku mengajak Fawwaaz pulang ke rumah orang tuaku. Satu tahun kujalani hubungan jarak jauh antara Blitar dan Bali. Aku bersama Fawwaaz tinggal di Blitar, sementara suamiku di Bali. Tak lebih kami ingin introspeksi diri masing-masing.
Ternyata waktu satu tahun itu membuat kami tersekat dalam sebuah onggokan. Cinta yang jauh untuk direngkuh. Dan sampai pada akhirnya........ puing-puing cinta yang dulu sempat mati rasa, kini perlahan kembali hidup. Aku semakin rindu pada suamiku, sebaliknya suamiku. Sementara Fawwaaz tiap malam selalu menangis mengingat ayahnya. Bahkan keuangan kami semakin menipis, jauhnya jarak membuat kami harus mempunyai pulsa yang banyak untuk sekedar menanyakan khabar setiap waktu. Kadang disaat libur, suamiku harus menyisihkan uangnya demi membeli sebuah tiket pesawat terbang untuk menemui kami.
Dari sinilah akhirnya kami berpikir, bahwa keluarga itu akan terasa utuh bila hidup bersama, apapun dan bagaimanapun keadaannya. Satu tahun telah memberikan pelajaran bagi kami, senyatanya kami tidak bisa hidup terpisah. Akhirnya kuputuskan untuk mengajak serta Fawwaaz ke Bali, walau suamiku belum mendapatkan rumah dinas. Kami tinggal serumah dengan anggota yang sama-sama tidak mendapatkan rumah dinas. Bagiku itu tidak masalah, yang penting kami bisa bersatu kembali.
Dan saat ini, kami telah sama-sama bersatu, hidup bersama, tinggal serumah untuk menyemai cinta. Cintalah yang kembali membuat kami bersatu seperti saat ini. Semoga kami memang benar-benar menyemai cinta di kehidupan kami yang baru, seperti harapan kami.
Dan saat ini, kami telah sama-sama bersatu, hidup bersama, tinggal serumah untuk menyemai cinta. Cintalah yang kembali membuat kami bersatu seperti saat ini. Semoga kami memang benar-benar menyemai cinta di kehidupan kami yang baru, seperti harapan kami.
4 Komentar
Saya selalu salut dengan istri tentara yang mampu mengelola segala kondisi yang ada.
BalasHapusTrimakasih partisipasinya, tercatat sebagai peserta.
itulah konsekwensi yang harus dijalani
BalasHapustapi saya yakin dibalik itu semua ada hikmahnya
Salam
Udah kayak saya aja, bedanya kalau Mba udah nikah saya masih LDR :D
BalasHapusPelajaran hidup yang sangat berharga ya mba :)
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...