Arsip tahun 2008
Tanah Papua
Disana pulauku yang kupuja slalu
Tanah Papua pulau indah
Hutan dan lautmu yang membisu slalu
Cendrawasih burung emas
Gunung-gunung lembah-lembah
Yang penuh misteri
Kau kupuja slalu
Keindahan alammu yang mempesona
Sungaimu yang deras
Mengalirkan emas
Sio ya Tuhan trimakasih...
Tanah Papua pulau indah
Hutan dan lautmu yang membisu slalu
Cendrawasih burung emas
Gunung-gunung lembah-lembah
Yang penuh misteri
Kau kupuja slalu
Keindahan alammu yang mempesona
Sungaimu yang deras
Mengalirkan emas
Sio ya Tuhan trimakasih...
Ketika nama Papua disebut, yang ada
hanyalah gambaran sebuah pulau di ujung Indonesia, yang mayoritas penduduknya
masih terbelakang, yang dikelilingi hutan belantara, jauh dari keramaian kota.
Tepatnya sama dengan anggapanku kala mendengar nama pulau itu. Sedikit ada rasa
miris dan takut untuk menginjakkan kaki di pulau itu. Takut terisolasi, takut
tidak bisa mengikuti perkembangan jaman, bahkan takut tidak bisa menikmati
berbagai fasilitas seperti layaknya di kota metropolis. Itu dulu, kala anganku
belum berwujud.
Rumah Dinas Di Tepi Hutan |
Saat aku benar-benar menginjakkan
kakiku di bumi cenderawasih (sebutan Papua), tepatnya di bandara Sentani,
setelah melalui rute penerbangan malam antara Surabaya – Jayapura yang
melelahkan ± 9 jam, bayanganku tentang Papua sedikit berubah. Ternyata Papua
sangat indah, gunung-gunung yang membentang membentengi tepi jalan-jalannya
ditambah dengan hijaunya pepohonan disekelilingnya, menambah semakin asrinya
alam Papua.
Bahkan pesona danau Sentani yang amat luas dapat dinikmati setiap
saat kala melewati kota Sentani – Jayapura. Apalagi saat digelar festival Danau
Sentani yang diselenggarakan setiap bulan Juni, dimana tiap-tiap suku menampilkan kesenian masing-masing, sontak lautan
manusia memenuhi tempat itu. Akupun ikut terjebak didalamnya.
Festival Danau Sentani |
Di Danau Sentani |
Penasaran ingin
melihat dari dekat apa sebenarnya yang dipertontonkan dalam festival itu, aku
bersama rombongan berniat ketempat itu, tapi truk yang kami tumpangi seolah tak
bisa berkutik, maju tidak bisa apalagi mundur, jadilah kami berdiam diri disitu
sambil menyaksikan lautan manusia yang padat membanjiri tempat itu, tanpa tahu
apa sebenarnya festival danau Sentani itu.
Di PNG, serasa sdh di LN |
Sayang keindahan alam Papua tidak
bisa dinikmati sekaligus. Lima tahun sudah aku tinggal di Jayapura, dan hanya
seputaran Jayapura yang kuketahui (Waena, Abepura, Kotaraja, Arso, Koya,
Perbatasan PNG, Kertosari), ya cuma itu. Ingin rasanya aku menginjakkan kaki di
seluruh pelosok tanah Papua, bahkan pedalaman sekalipun. Tapi perjalanan kesana
harus ditempuh melalui jalur udara dan memakan biaya yang teramat mahal.
Jayapura – Sorong, Jayapura – Merauke, Jayapura – Nabire, Jayapura – Manukwari,
Jayapura – Wamena, Jayapura – Timika, semuanya harus ditempuh dengan perjalanan
udara. Sayang sekali keindahan kotanya tak dapat kunikmati, padahal
masing-masing wilayah itu mempunyai adat, tradisi dan ciri khas tersendiri yang
mungkin menarik simpati para wisatawan.
Di Jayapura pun rasanya aku terpesona
dengan keindahan alamnya. Bukan hanya danau Sentani yang pesonanya amat
memikat, bahkan tempat-tempat lain seperti holt the camp, pantai Best-G,
Kertosari, tugu Mc. Arthur atau perbatasan PNG, juga tak kalah menariknya,
meski perjalanan menuju tempat itu dipagari gunung-gunung dan hutan belantara.
Ya...itulah ciri khas alam Papua.
Bahkan pandangan orang mengenai Papua
yang penduduknya masih terbelakang dan dipenuhi dengan hutan belantara, nyaris
berbalik seratus delapan puluh derajat. Akupun ingin menepis anggapan yang
salah itu.
Sekarang Papua sudah maju, banyak putra daerah yang berhasil
membangun wilayahnya dan menunjukkan kehebatannya dimata dunia. Bahkan saat ini
Jayapura (dimana aku tinggal) sudah sangat ramai, meski mayoritas penduduknya
dipenuhi oleh pendatang dari berbagai pulau. Banyak sekolah-sekolah bahkan
universitas yang didirikan. Tempat-tempat hiburanpun tak kalah maraknya.
Mal-mal, dunkin donuts, KFC, pizza hut, gramedia sampai Sentani Top Square
sudah berdiri kokoh dan dipadati pengunjungnya. Berbagai siaran televisi juga sudah
bisa ditangkap dengan sinyal yang bagus. Sayang tak satupun gedung bioskop atau
sineplek yang dibangun. Andaipun ada mungkin tempat itu tidak akan terawat.
Bayangkan, mayoritas penduduk asli Papua suka mengkonsumsi pinang, setelah itu
dibuang sembarangan. Sudah barang tentu aromanya amat menyengat dan merusak
pemandangan. Itulah salah satu ciri khas mereka, bahkan yang amat disayangkan
kebiasaan mereka untuk bermabuk-mabukan sulit dihilangkan. Hampir setiap
kecelakaan lalu lintas yang terjadi penyebabnya hanyalah pengendaranya sedang
mabuk. Ini jelas-jelas membahayakan keselamatan jiwanya, bahkan nyawa
taruhannya.
Mayoritas penduduk Papua beragama
nasrani, tapi mereka menghormati para pendatang yang memeluk agama lain, Islam
misalnya. Perayaan hari rayanyapun digelar secara besar-besaran. Inilah yang
membedakan kebiasaan di Papua dengan kebiasaan di pulau-pulau lain seperti
Jawa, Sumatera dan sekitarnya.
Hidangan Lebaran |
Saat perayaan hari besar agama, baik Islam
maupun Nasrani, si empunya rumah selalu menyediakan jamuan besar-besaran
layaknya sebuah pesta. Ada beberapa menu yang disajikan, seperti bakso, soto,
siomay, es buah, puding, minuman kaleng disamping kue-kue kering yang
disediakan di meja tamu. Bagi anak-anak yang berkunjung disediakan macam-macam
snack yang dibungkus dalam plastik seperti layaknya suguhan ulang tahun.
Biasanya acara kunjungan ini hanya berlangsung satu hari saja. Tak ayal
kebiasaan ini sering dimanfaatkan oleh anak-anak putra daerah untuk
mengumpulkan snack dan minuman kaleng (soft drink).
Mereka datang kerumah-rumah
secara bergerombol sambil membawa karung, berharap mendapatkan seplastik snack
atau sekaleng soft drink. Bayangkan bila sepuluh rumah yang mereka kunjungi
sudah berapa buah bungkusan snack dan soft drink yang mereka dapatkan. Tentunya
sudah dapat banyak. Ya, itulah kebiasaan yang mereka lakukan. Ini jelas berbeda
dengan kebiasaan di Jawa.
Kalau di Jawa perayaan hari raya Idul Fitri misalnya,
bisa berlangsung berhari-hari bahkan sampai satu bulan dan si empunya rumah
hanya menyediakan kue-kue ala kadarnya yang disajikan di meja tamu, tanpa
menyajikan makanan berat. Kalaupun ada, mereka hanya menyediakan untuk kerabat
dekatnya saja. Inilah yang kualami ketika merayakan hari raya Idul Fitri di
Jayapura, entah sudah menjadi tradisi atau dipandang berlebihan, akupun tak
tahu. Tapi semuanya itu tidak memupuskan kecintaanku pada alam Jayapura.
Entah
berapa lama lagi aku akan tinggal di Jayapura, akupun juga tak tahu, tergantung
tugas suamiku. Yang jelas aku begitu menikmati segalanya di alam Papua ini.
Buah matoa yang manis, akusa (aneka kue sagu), papeda (makanan khas Papua) dan
yang tak kalah menariknya tarian pergaulan Yosim Pancar yang sering dilombakan
pada event-event tertentu.
Senangnya aku bisa tergabung dlm Team Tari Anire |
Bersama Sanggar Pak Theo saat membawakan Tari Mambesak |
Team Tari Mambesak |
Team Tari yospan |
Mungkin beberapa tahun kedepan
gunung-gunung yang menjulang tinggi itu akan hancur dan terkikis habis, berubah
menjadi mal-mal dan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Lihatlah buldozer
yang tiap hari bekerja mati-matian melumat habis bebatuan cadas dan meratakan
gunung-gunung itu. Ya...mungkin beberapa tahun kedepan Jayapura akan
benar-benar menjadi kota metropolis, yang dipadati oleh bangunan-bangunan dan
tempat-tempat hiburan, yang dipenuhi oleh lalu lalangnya kendaraan roda empat.
Tapi, akankah pendidikan juga menjadi prioritas utama? Sungguh amat mengenaskan
mereka-mereka yang masih tinggal di pedalaman. Kehidupan mereka serba minim,
apalagi pendidikan. Mungkin mereka sama sekali tidak mengenal apa itu
pendidikan. Inilah yang menjadi tugas kita untuk membantu mengangkat mereka
dari jurang kehancuran.
Uluran tangan kita amat berharga bagi kemajuan mereka,
dan kemajuan bangsa Indonesia pada umumnya, karena mereka adalah bagian dari
bangsa Indonesia yang patut mendapatkan perhatian khusus.
6 Komentar
Aahh indahnya negeriku, kekayaan Alam di papua di eksploitasi, pembangunan tapi tidak merata. Ironis sekali dg kehidupan masyarakatnya yang kekurangan. :(
BalasHapusMereka butuh uluran tangan kita mak, tapi kadang niat baik kita tak mudah diterima oleh mereka....sebuah dilema yang harus segera dicari solusinya
HapusWah bagus ya ternyata
BalasHapusBerbahagialah yang pernah tugas di sana.
Ipar saya juga pernah menjadi Danpomdam di Trikora lho
Terima kasih atas reportase yang menarik
Salam hangat dari Surabaya
Papua senyatanya indah Pak Dhe.....sayang masih ada tangan-tangan kotor yang menjamahnya.........Terima kasih kunjungannya Pak Dhe
Hapuswaah seru ya Mak ..
BalasHapusbisa meginjakkan kaki di negeri papua yang pada kenyataannya sangat indah ..
senengnya..
makasih telah berbagi pengalaman ya mak :D
ini pengalaman sekaligus kenangan saya yang sangat berkesan dan tidak akan terlupakan....terima kasih sudah mampir di blog saya
HapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...