Sejak kecil aku memang suka kesenian. Itulah sebabnya aku memohon kepada orang
tuaku untuk memasukkannya ke sebuah sanggar tari. Namun, ternyata keinginanku tak disetujui
ayah kala itu. Sedih rasanya. Aku hanya bisa menatap nanar dan tertawa
getir manakala melihat temanku berhasil mementaskan sebuah tari pada acara
pertunjukan di desaku.
Alasan ayahku memang masuk akal. Beliau hanya ingin aku
menjadi anak yang berprestasi di sekolah.
Bagi ayah, dengan berlatih menari
pasti akan menyita waktu belajarku.
Bahkan, mungkin menurut ayah aku tidak akan menjadi anak berprestasi
seperti impian beliau.
Hmm…mengenang masa itu, ingatanku seperti kembali tertuju
pada sosok ayah yang kini sudah tiada.
Ayah….bagaimanapun juga adalah figur yang penuh semangat dan selalu
sukses mendidik anak-anaknya meski kadang sifatnya yang keras membuat kami
takut akan gertakannya. Namun, rasa
sayangnya yang begitu besar pada keluarganya membuat ayah akan selalu ada di
hati kami. Hiks…jadi sedih mengenang
ayah.
Aku sedih karena ayah belum
sempat melihatku tumbuh menjadi seorang anak dambaan beliau meski aku tetap
menggeluti kesenian yang dari dulu menjadi cita-citaku. Aku ingin menepis bahwa anggapan ayah kala
itu salah. Namun apa dayaku, ayah telah
tiada. Tapi aku yakin, ayah pasti tahu
itu.
Dan sebuah moment terindah yang
akan kukenang selalu, adalah saat aku mengikuti suamiku bertugas ke Papua. Ternyata kepindahanku ke Papua membawaku
untuk mempelajari beberapa kebudayaan yang ada di sana. Aku memang tertarik dengan seni budaya Papua
dan ingin mempelajarinya.
Beberapa kali aku bergabung
dengan tim tari yosim pancar (yospan) untuk mengikuti berbagai lomba. Dan Alhamdulillah tim kami kerap kali memenangkan
lomba itu. Bukan main senangnya
hatiku. Terlebih saat pelatih tari itu
yang “notabene” asli Papua mengacungkan jempolnya saat melihatku berpakaian
adat…wih rasanya tersanjung hati ini.
Di lain waktu, tim kami mendapat
kesempatan untuk mengisi acara khusus. Kebetulan
kami adalah keluarga besar TNI-AD, jadi kegiatan itu memang rutin menjadi tugas
kami untuk bisa tampil maksimal dalam acara serah terima jabatan di Kodam.
Bukan hanya tari yospan saja yang
kami kuasai. Demi membuat para penonton
terkesima dengan penampilan kami, akhirnya kami harus berlatih dan menguasai
gerakan tari lain. Sekali waktu kami
berlatih tari mambesak, bahkan di kesempatan lainnya kami harus berlatih tari
anire yang gerakannya sangat keras.
Setiap hari tim kami terus
berlatih, bahkan malam pun kami rela meninggalkan rumah demi menguasai
tari-tarian itu. Yang kami inginkan
adalah sebuah kebanggaan. Bangga bisa
menampilkan yang terbaik dan membawa nama besar satuan suami. Bahkan kami pun makin antusias berlatih
manakala apa yang kami lakukan mendapat dukungan penuh dari suami.
Tari Mambesak |
Tari Anire |
Olala….akhirnya hari yang kami
nantikan tiba juga. Hari dimana kami
harus menampilkan sebuah tarian pada acara Serah Terima Jabatan Kasdam
XVII/Cenderawasih. Sejak pagi kami sudah
berkumpul di sebuah tempat untuk di make-up dan didandani ala penari. Satu persatu dari kami di make over hingga
selesai semuanya. Dan……alangkah
bangganya hatiku kala berpakaian adat ala penari anire. Hal yang sama juga dirasakan teman-temanku yang
tergabung dalam tim.
Kami menarikan dengan apik dalam
acara itu, hingga applause tak henti-hentinya pun kami dengar di akhir
penampilan kami. Bahkan di akhir acara,
dengan bangganya kami kembali tampil ke panggung untuk berfoto bersama dengan
para petinggi Kodam. Wihh…..sebuah
kehormatan, kebanggaan sekaligus moment terindah yang tak pernah terlupakan,
rasanya kami sungguh tersanjung saat itu.
Itulah ceritaku, meski aku
tinggal di Papua, yang “notabene” jauh dari keluarga besarku, tak serta merta
membuatku melankolis teringat akan kampung halamanku. Ada teman-teman di sekelilingku yang
bersama-sama menghidupkan suasana dan mengukir cerita indah di pulau
seberang. Aku pun tak pernah merasa
kesepian. Bersama mereka hari-hariku terasa
indah. Mereka selalu ada di saat aku
sedih dan gembira. Terima kasih ya Allah
atas nikmat yang sungguh indah ini.
4 Komentar
pasti bangganya luar biasa :D
BalasHapusberuntung suaminya mengijinkan ya?
Makasih udah share ceritanya..
OK. Tercatat sebagai peserta^^
hehehe...iya kalau sudah mengantongi ijin suami, semangat itu kian membara
Hapusterima kasih
Keren deh.. bisa menari tradisional. Waktu kecil, saya pun ingin sekali bisa menari jaipong, tapi sayang sampai sekarang belum kesampaian :)
BalasHapusItu kenangan ketika masih di Papua mbak, karena saya penasaran ingin bisa menari akhirnya nekat ingin ikut, alhamdulillah bisa....makasih ya mbak
HapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...