credit |
Banyak orang bilang Jakarta adalah segala-galanya. Dari Ibukota negara, pusat perbelanjaan, gudangnya artis-artis ngetop, maraknya tempat-tempat hiburan sampai berpindahnya para penduduk dari kampung alias urbanisasi.
Mereka beranggapan hidup di kota lebih enak, gampang mencari pekerjaan. Tak ketinggalan Mang Gito. Berbekal iming-iming tetangganya yang sukses di kota dia nekat hijrah dari kampung ke kota. Keinginannya untuk menjadi orang yang sukses hidup di kota sangat menggebu. Dia rela meninggalkan pekerjaan tetapnya di desa sebagai petani yang ya…..lumayan berhasil-lah.
Dua minggu sudah Mang Gito berada di Jakarta. Dia tinggal sementara di rumah kerabat jauhnya. Dua minggu pula dia mondar-mandir kesana-kemari mencari pekerjaan. Namun hasilnya nol. “Katanya Jakarta gudangnya pekerjaan, gampang mencari duit, tapi mana buktinya?”, gumannya dalam hati. Kembali ia tekuri jalanan yang semakin terik, rasa lemas didalam tubuhnya semakin menjadi.
Ia berhenti sejenak, sorot matanya sibuk mencari tempat teduh, setelah ditemukannya ia segera berhambur kesana. Diusapnya peluh yang mulai berjatuhan di pipi. Kemudian dirogohnya saku celananya. Tubuh Mang Gito semakin lemas. Bekal uang yang dibawanya dari kampung semakin menipis. Uuuh…….Jakarta memang kejam, baru dua minggu saja uang sudah ludes, umpatnya.
Mang Gito semakin pusing dibuatnya. Kembali ia susuri trotoar yang sudah tercabik-cabik. Tak dihiraukannya rasa lapar yang kian menyeruak. Yang ada dalam benaknya adalah segera pulang ke rumah kerabatnya.
Tak disangka-sangka setengah perjalanannya dia bertemu dengan sahabatnya dari kampung, Samin namanya. Setelah lama berkeluh kesah, akhirnya Mang Gito ditawari pekerjaan Samin sebagai penjual bakso. Dengan sorot mata berbinar-binar dia mengiyakan tawaran Samin. Dalam hatinya ia akan bekerja semaksimal mungkin untuk menyambung hidupnya di ibukota.
Mulailah hari-hari Mang Gito diisi dengan menjual bakso keliling. Namun ya…….hasilnya sama. Apa yang ia harapkan musnah sudah. Terkadang dalam satu hari baksonya hanya laku dua mangkok, bahkan pernah sama sekali tidak laku. Mang Gito hanya bisa mengelus dada, dalam benaknya muncul rasa gamang, khawatir kalau ia akan menjadi gelandangan. Namun ia tidak patah semangat.
Dari hari ke hari didorongnya gerobak bakso mengelilingi sebagian kecil kota Jakarta. Ya….lumayanlah masih ada satu, dua orang yang mau membeli baksonya.
Suatu ketika rasa bosan itu menyelinap dalam dirinya. Gairah untuk melanjutkan pekerjaannya musnah sudah. Ia kembali teringat tawaran Emaknya di kampung beberapa tahun yang lalu. Waktu itu orang tuanya masih menjadi petani yang kaya, hasil panennya melimpah ruah.
“To, mumpung emakmu masih punya uang, kamu bisa memilih, melanjutkan kuliahmu atau jadi tentara?”, Tanya emaknya suatu hari.
Lantang Mang Gito menjawab, “Gito nggak mau jadi tentara mak, aku mau kuliah saja, biar bisa kerja di kantor, pakai dasi, punya titel.”
"Ya sudahlah, kalau kamu memang mau kuliah segera urus administrasinya, emak akan biayai. "
Mulailah Mang Gito menekuni kuliahnya. Ia mengambil kuliah di sebuah lembaga pendidikan, dengan memilih jurusan akuntansi. Selama tiga tahun kuliah Mang Gito berjalan dengan lancar sampai akhirnya ia meraih gelar Sarjana Muda alias AMd.
Selepas dari bangku kuliah dia mondar-mandir dari satu perusahaan ke perusahaan lain di kampungnya untuk mencari pekerjaan, tapi hasilnya nihil. Dia melihat dengan mata kepala sendiri rata-rata orang yang diterima bekerja punya koneksi alias nyogok duluan.
Dari situlah akhirnya dia malas untuk mencari pekerjaan. Diputuskannya melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai petani. Sebenarnya sebagai petani-pun hasilnya cukup lumayan. Mungkin karena dia malu dengan titelnya yang AMd, “masak cuman menjadi petani doang”. Akhirnya diputuskannya hijrah ke Jakarta yang ternyata sungguh kejam.
Penyesalan pasti datangnya belakangan. Andai dulu Mang Gito memilih menjadi tentara, pasti kehidupannya lebih mapan. Ia pasti kelihatan gagah dengan seragam doreng yang dikenakannya. Gaji yang diterimanya juga tetap tiap bulan, tidak seperti sekarang.
Ternyata dengan memilih kuliah tidak menjanjikan apa-apa.
Dengan kuliah mungkin akan memperoleh gelar, tapi belum tentu mendapat pekerjaan. Buktinya Mang Gito. Untung dia masih mendapat pekerjaan, walaupun sebagai tukang bakso.
Kembali kata-kata bapaknya terngiang-ngiang ditelinganya.
“Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi, menghambur-hamburkan uang, coba lihat si Karta, dia sudah sarjana, tapi masih lontang-lantung. Tuh, si Ani, bapaknya sudah capek-capek menyekolahkan ke kota, ee…boro-boro cari kerjaan, sudah keburu dilamar orang! Si Antok juga, sekarang dia masuk penjara, gara-gara mencuri sepeda motor, alasannya kepepet, padahal dia juga sarjana, anak orang kaya lagi, karena ya itu, dia tidak punya pekerjaan alias pengangguran.”
Mang Gito manggut-manggut. Benar juga kata-kata bapak.
Siang semakin terik. Namun tidak menyurutkan semangat Mang Gito untuk mendorong gerobak baksonya. Satu demi satu rumah ia hampiri, sampai akhirnya dilewatinya jalan yang menurun. Entah melamun atau kecapaian, tiba-tiba gerobak bakso Mang Gito lepas dari genggamannya.
Dia sudah tidak kuat lagi menahannya. Sampai akhirnya braaak…..Mang Gito jatuh bersama gerobaknya. Seluruh isi gerobak jatuh berserakan, mangkok-mangkok pecah, Mang Gito tersungkur masuk ke got. Sungguh malang benar nasib Mang Gito. Bakso belum laku, sudah apes, ibarat “sudah jatuh tertimpa tangga pula.”
Untung masyarakat sekitar merasa iba dengan Mang Gito. Lekas dipungutinya serpihan-serpihan mangkok yang pecah dan didirikannya gerobak yang roboh. Mang Gito berjalan tertatih-tatih sambil menahan rasa sakit di pahanya.
“Ya…….beginilah kalau orang tidak nurut orang tua, selalu mengikuti kata hati”, batinnya dalam hati.
Andai aku tetap jadi petani pasti tidak akan begini jadinya. Aku pasti tenang hidup di kampung dengan emak dan bapak. Memang benar, sekolah tinggi-tinggi percuma kalau kita tidak punya sesuatu yang dibanggakan. Artinya hidup dijaman seperti sekarang ini, segalanya diukur dengan uang.
Masuk sekolah favorit harus pakek uang, mau kerja dimanapun tempatnya, baik itu di pabrik, di perusahaan, di pemerintahan, semuanya harus pakek pelicin alias nyogok dan koneksi. Berarti hanya orang-orang yang berduit saja yang bisa menikmati empuknya kursi di kantor, tanpa memperhatikan seberapa besar kemampuan dan keahliannya.
Trus, bagaimana nasib sarjana-sarjana seperti aku ini, yang hanya mengandalkan selembar ijasah dan titel tanpa mempunyai koneksi? Akankah selamanya jadi pengangguran? Salam reformasi yang pernah dikobarkan seakan tumbang, yel-yel yang pernah diteriakkan, “Berantas Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN)”, tenggelam sudah. KKN semakin merajalela bahkan membabi buta. Kalau sudah begini, percuma sekolah tinggi-tinggi, buang-buang biaya. Sekolah tinggi larinya ke penjual bakso. Masih untung dapat kerjaan, kalau jadi pengangguran? Wah………nasib-nasib! Mang Gito mengelus dada.
2 Komentar
wiii keren2 mbaak, secara mbak udah piawai nulis di media.Ajarin daku ya,mbak. Btw itu aku udah follow blognya :D Slm sukses ya.
BalasHapushehehe.....duh jadi malu ih, nih lagi belajar buat fiksi mbaaakkkkk...makasih banyak...you're so my best friend on blogger
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...