Senangnya hatiku melihat pohon cabeku tumbuh dengan
subur. Meski aku tak merasa menanamnya,
namun pohon itu bukan pohon ajaib. Aku
pun sempat memutar otak mengingat-ingat kapan menebarkan benih cabe di
belakang rumahku. Meski seribu kali
mengingatnya, tetap saja aku tidak ingat alias lupa.
Memang benar aku tidak pernah menanamnya. Pohon itu tumbuh lantaran keisenganku yang
suka sembarangan melempar biji cabe tepat di belakang dapur rumahku. Alangkah bersyukurnya aku, karena keisenganku
ternyata berbuah manis. Sebatang pohon
cabe tumbuh subur tanpa memerlukan sentuhan tanganku untuk sekedar menyiramnya
atau memberi pupuk.
Tanganku berfoto bersama pohon cabeku |
Ingat cabe aku jadi ingat kebiasaanku yang belanja sayur di
warung bu Made sehabis sholat Shubuh.
Sepagi itu aku sudah mengayuh sepedaku lantaran rumah dinas yang kami
tempati tepat di pojok lapangan tempat bapak-bapak biasanya melaksanakan
upacara bendera atau apel pagi.
Begitu jam apel dimulai, bakalan ada provost berjaga-jaga di
gang-gang dan tidak mengijinkan orang umum berseliweran melewati jalan itu. Itulah sebabnya aku berbelanja di pagi buta.
Warung bu Made meski harganya sedikit mahal namun sangat
lengkap, bahkan tempatnya pun dekat dengan asrama kami tinggal. Apalagi saat pertama buka, yang diincar pembeli
adalah gorengannya yang masih hangat.
Aku biasa membeli gorengan beberapa biji untuk sarapan suamiku sebelum
berangkat ke kantor.
Suatu hari aku membeli 6 buah bakwan sayur dan 4 buah dadar
jagung. Tak lupa akupun minta beberapa
biji cabe sebagai pelengkap makan gorengan.
Tiba-tiba bu Made dengan ketusnya bersuara,
“Jangan banyak-banyak ambil cabenya ya, cabe lagi mahal,
kalau ambil banyak rugi saya!”
“Tidak bu, nih cuma 2 biji”, jawabku sambil menunjukkan cabe
yang kuambil.
Kukira begitu aku selesai menjawab, bu Made juga mengakhiri
pembicaraannya tentang cabe. Ternyata
tidak. Ia masih tetap nerocos sambil
menceritakan pembeli gorengannya yang suka minta cabe banyak.
“Ibu-ibu itu memang susah, beli gorengan cuma satu,
ambil cabenya sampai lima. Itu minta apa
ngerampok! Tidak tahu apa kalau harga
cabe lagi mahal. Kalau terus-terusan
seperti ini saya jadi bangkrut. Makanya
setiap pembeli gorengan selalu saya awasi berapa biji ambil cabenya.”
Duh….bu Made! Apa mungkin seperti itu ya jiwa seorang
pedagang, harus perhitungan agar cepat kaya dan tidak bangkrut hehehe……. Ah,
masa bodoh dengan bu Made. Yang jelas
aku tak mau mempermasalahkan bu Made dengan cabenya. Dan aku sangat bersyukur, meski bu Made
hanya memberiku 2 biji cabe untuk 10 buah gorenganku, aku masih punya cabe-cabe
yang siap dipetik.
Terima kasih pohon cabe, engkau selalu ada di saat aku
membutuhkanmu. Gorengan tanpa cabe akan
terasa hambar, demikian juga dengan sayuran kurang lengkap bila tidak ada
cabe. Bersamamu sayur yang kumasak
semakin nikmat, dan gorengan yang kumakan tambah enak. Semoga engkau tetap tumbuh subur meski
menempel di dinding dapurku yang terbuat dari triplek.
Sekilas tentang cabe rawit
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Cabai_rawit
Cabai rawit atau cabai kathur, adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Selain di Indonesia, ia juga tumbuh dan populer sebagai bumbu masakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di Malaysia dan Singapura ia dinamakan cili padi, di Filipina siling labuyo, dan di Thailand phrik khi nu. Di Kerala, India, terdapat masakan tradisional yang menggunakan cabai rawit dan dinamakan kanthari mulagu. Dalam bahasa Inggris ia dikenal dengan nama Thai pepper atau bird's eye chili pepper.
Buah cabai rawit berubah warnanya dari hijau menjadi merah saat matang. Meskipun ukurannya lebih kecil daripada varietas cabai lainnya, ia dianggap cukup pedas karena kepedasannya mencapai 50.000 - 100.000 pada skala Scoville. Cabai rawit biasa di jual di pasar-pasar bersama dengan varitas cabai lainnya.
Terdapat peribahasa Indonesia "kecil-kecil cabai rawit" (Malaysia: kecil-kecil cili padi), yang artinya kecil-kecil tapi pemberani.
Sumber Gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Cabai_rawit |
Kerajaan: | Plantae |
(tidak termasuk) | Eudicots |
(tidak termasuk) | Asterids |
Ordo: | Solanales |
Famili: | Solanaceae |
Genus: | Capsicum |
Spesies: | Frutescens |
Tulisan ini diikutsertakan dalam "Give Away Aku dan Pohon" yang diadakan oleh
mbak Murtiyarini
3 Komentar
Kalau punya pohon cabe endiri enak ya, Mbak. Nggak terlalu ngaruh klo harga cabe mahal... :) ira
BalasHapusMemang paling enak kalo di belakang rumah ada pohon cabe, apalagi ditambahn pohon tomat dll :)
BalasHapusAku juga punya pohon cabe hijau dan rawit. Rasanya memang beda kalau memetik cabe di pohon sendiri.
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...