Cerpen: diambil dari sebuah kisah nyata yang sarat dengan hikmah dan inspiratif
Dahulu kala hiduplah sepasang
petani kaya di sebuah desa terpencil. Mereka mempunyai 4 orang anak. sayang
hanya seorang anak laki-laki lah yang hidup. Sementara ketiga lainnya meninggal
beberapa hari setelah dilahirkan. Namun mereka tetap tegar menghadapi cobaan
itu, bahkan tekad mereka bulat untuk merawat dan mendidik anak semata wayangnya
dengan penuh kasih sayang.
credit |
***************************
Hal ikhwal tentang “pak tani”, ia
anak pertama dari 12 bersaudara, 7 saudara kandung seibu-sebapak dan 4 saudara
beda ibu. Ayahnya menikah dua kali lantaran istri pertamanya meninggal karena
sakit. Setelahnya sang ayah menikahi wanita lantaran belas kasihan, ia
ditinggal mati ibu-bapaknya. Meski demikian, mereka hidup rukun. Dan sebagai anak
pertama “pak tani” yang lebih akrab dipanggil Sudiro merasa bertanggung jawab
terhadap kesebelas adiknya.
Tiap hari Sudiro bekerja keras.
Ia termasuk anak mujur di desanya. Jaman dulu seorang anak bisa menamatkan SR 5
tahun (Sekolah Rakyat) adalah hal yang sangat luar biasa. Setamatnya dari
Sekolah Rakyat, Sudiro mengasah ketrampilannya dengan belajar menjahit. Alhasil
ia sukses menjadi penjahit desa yang banyak langganannya. Kadang jika
jahitannya sepi, ia lebih suka mlijo (berjualan sayuran keliling dengan
pikulan). Itupun juga membuahkan hasil. Banyak pembeli yang akhirnya jadi
langganannya.
Bahkan di lain waktu, ia sering
membantu ayahnya memandikan kuda-kudanya. Ayah Sudiro adalah seorang kusir, tak
heran banyak kuda yang dipeliharanya. Namun demikian Sudiro tetaplah lelaki
yang ulet dan tanggung, ia tak pernah pantang menyerah sebelum cita-citanya
tercapai. Dari hasil menjahit dan mlijonya, Sudiro berhasil membeli sepetak
sawah yang sangat luas.
Pun demikian Sudiro mempunyai
sifat yang suka iba melihat pemandangan yang menyedihkan. Saat Negara kita
dijajah Belanda, banyak rakyat yang mati kelaparan. Anak menjerit mencari
ibunya, sementara bapaknya menderita karena harus ikut kerja rodi. Bahkan
pemandangan yang memilukan saat melihat anak-anak yang tinggal tulang, mereka
tak makan, tidurpun dengan alas seadanya. Sudiro tergerak hatinya untuk masuk
menjadi polisi sukarela, yang siap membantu rakyat Indonesia melawan penjajah.
“Pak….aku pengen masuk polisi,
boleh ya? Pinta Sudiro suatu hari disela-sela memandikan kuda-kuda bapaknya.
Mendengar kalimat itu, ayah
Sudiro agak terkejut, ia tak menyangka jika anaknya mempunyai keinginan yang tergolong
nekat.
“Le..(panggilan anak laki-laki
Jawa)…menjadi polisi itu sama halnya dengan setor nyawa, apa kamu pengen mati muda?”
Ingat Le, kamu masih bujangan, adikmu banyak. Hanya kamu satu-satunya harapan
bapak yang bisa mbantu adikmu. Lha kalau kamu jadi Polisi, trus gimana nasib
adik-adikmu? Simbokmu gak bakalan mampu merawat semua anaknya……
Sudiro hanya mesam-mesem. Hembusan
nafasnya sedikit terdengar, sebagai tanda ia ingin mengatur kalimat yang akan
dikeluarkannya, agar sang ayah tak murka.
“Pak….hidup dan mati seseorang
itu Gusti Allah yang ngatur……bapak, simbok, saya atau siapapun tak bisa
menentukan kapan saya mati. Yang saya inginkan sekarang hanya membantu rakyat
Pak. Kasihan mereka…..sudah lama mereka hidup tertindas….dan saya tidak ingin
negeri kita yang makmur, gemah ripah loh jinawi ini harus direnggut oleh
penjajah yang keji itu.”
“Lha trus nasibnya adik-adikmu
piye….”, tanya bapak penasaran.
“Bapak tidak usah khawatir.
Menjadi polisi bukan berarti saya berhenti berjuang. Sawah diujung sana tetap
milik saya. Hasilnya pun juga masih untuk adik-adik. Dan saya tak akan
menghilangkan predikat saya sebagai petani, pak. Saya lebih suka dipanggil
petani ketimbang polisi. Jadi polisi semata-mata karena panggilan kemanusiaan
untuk membela rakyat”, Sudiro berusaha sabar menjelaskan kepada ayahnya.
Mendengar
penuturan Sudiro, ayahnya pun manggut-manggut pertanda setuju. Legalah hati
Sudiro, karena niatnya untuk menjadi Polisi direstui ayahnya.
#####
Sebulan
sudah Sudiro mengenakan seragam polisi. Setiap pagi ia harus berangkat kerja.
Namun ia tak pernah lupa akan janjinya. Sawah yang terbentang luas itu kini
dipercayakan kepada kedua adiknya untuk mengelolanya. Sementara saat tidak
sedang berdinas, Sudiro lebih sering menghabiskan waktunya di sawah bersama
adik-adiknya.
Di
tengah kerja kerasnya, tak henti-hentinya Sudiro memanjatkan doa kepada Gusti
Allah agar kerja kerasnya membuahkan hasil. Ternyata benar adanya. “Gusti Allah
mboten sare”, begitu petuah Jawa artinya Gusti Allah tidak tidur. Doa Sudiro
terkabul. Ia yang pandai melantunkan ayat-ayat Allah ternyata didengar oleh
Kyai masjid desa. Sudiro-pun dipercaya untuk menjadi imam masjid, dan sesekali
ia diundang untuk memimpin doa pada sebuah hajatan di rumah tetangga.
Bukan
hanya itu, dalam meniti karier di kepolisian, Sudiro termasuk anggota yang
loyal. Itulah sebabnya, sang pimpinan menaruh empati padanya. Dan yang lebih
menggembirakan, sawah yang digarap bersama adik-adiknya ternyata berbuah manis.
Hasil panennya melimpah ruah. Dan uang hasil panen ia gunakan untuk membelikan
tanah adik-adiknya. Kini, kesebelas adiknya sudah mendapatkan bagian tanah yang
sama luasnya. Legalah hati Sudiro.
####
“Pak….saya
mau menikah!”
Kalimat
Sudiro yang spontan membuat batang rokok di mulut ayah Sudiro seketika lompat
ke samping sandalnya. Ayah Sudiro bukan
main kagetnya.
“Kamu…
kamu mau kawin sama siapa Le?” Apa sudah ada wanita yang cocok di desa ini?
Bapak
terlihat gusar, ia seperti takut kehilangan anak pertamanya, yang selama ini
menjadi tumpuhan hidupnya.
“Ada
pak, dia anak Pak Suma, yang tinggal di ujung sana, Sulastri namanya.” Dengan
menunduk Sudiro mengucapkan kata itu. Ia takut kalau-kalau ayahnya marah. Namun
ia juga tidak bisa membendung rasa cintanya pada Sulastri yang sangat menggebu.
Dan demi menghindari zina, ia bermaksud segera melamar pujaan hatinya itu.
Memang
benar, mendengar penuturan Sudiro, sang ayah langsung membelalak. Ia sangat
terkejut dengan ucapan Sudiro.
“Byuh…byuh…byuh…..Pak
Suma itu orang kaya di kampung kita Le. Mbokya kamu ini noleh githokmu to, kamu
ngaca Le, eling…ingat kamu ini anaknya wong mlarat. Apa pantas anak orang
miskin bersanding dengan anaknya juragan? Duh…duh…..
“Pak…..Gusti
Allah saja tidak pernah membeda-bedakan umatNya.” Mengapa kita yang hanya
berstatus sebagai makhluk ciptaanNya harus membedakan mana yang kaya, mana yang
miskin. Di mata Allah semua manusia itu sama. Mengapa mesti takut? Saya sadar
Pak siapa diri saya. Justru itu demi menghindari zina hati dan zina mata, saya
memberanikan diri untuk melamar Sulastri.
“Lagian
Pak Suma baik orangnya, beliau merestui hubungan kami. Makanya saya ijin dulu
sama bapak, saya mohon restu bapak.” Sudiro berusaha sesopan mungkin berbicara
dengan ayahnya, agar niat baiknya direstuinya.
Sementara
simbok dari tadi hanya duduk mematung di pojok dipan kayunya. Ia merasa tak
berhak ikut campur. Kapasitasnya sebagai ibu tiri hanya sebagai pendengar,
meski Sudiro pernah meminta sarannya, namun simbok tetap berkata, “terserah
bapakmu saja, simbok ngikut dan setuju saja.”
#####
Kini
Sudiro resmi menikahi Sulastri. Ayah Sudiro ternyata seorang ayah yang
bijaksana, ia tak pernah mengekang anaknya. semua keputusan dikembalikan kepada
anak-anaknya, termasuk keputusan Sudiro yang ingin menikahi Sulastri. Demikian juga Sudiro. Ia sadar sebagai anak
tertua, ia sangat diharapkan kedua orang tua dan adik-adiknya. Makanya setelah
menikah ia tetap tinggal di desa dan mendirikan rumah disamping sawahnya.
Keluarga
Sudiro sangat rukun. Mereka saling mengasihi. Terhadap orang tuanya,
adik-adiknya, mertuanya bahkan saudara iparnya, Sudiro selalu santun dan
hormat. Demikian juga Sulastri. Dan semenjak menikah kehidupan Sudiro semakin
makmur. Sawahnya yang terus menghasilkan, sementara di kepolisian ia semakin
disegani. Sedangkan Sulastri, karena kepiawaiannya memasak, ia dijadikan tukang
masak di asrama polisi. Tak jarang ia mendapat pesanan masakan untuk sebuah
hajatan.
Dan
seperti awal cerita, rumah tangga Sudiro-Sulastri yang tadinya dikarunia 4
orang anak, karena ke-3 anaknya meninggal, akhirnya hanya seorang anak
laki-lakilah yang mereka rawat sebaik-baiknya. Namun demikian, ditengah
kehidupan yang bergelimang harta karena hasil panennya yang melimpah, mereka
tidak sombong.
Hartanya
mereka gunakan untuk membantu saudaranya yang kurang mampu. Tetangga yang
dirasa membutuhkan uluran tangannya, segera mereka bantu. Dan demi meringankan
beban orang lain, akhirnya Sudiro mengangkat dua orang gadis desa sebagai adik
angkatnya. Niatnya pun diamini Sulastri.
Dengan kedua
adik angkatnya Sudiro juga tak membeda-bedakan. Mereka bahkan mendapatkan
bagian tanah sama seperti kesebelas adiknya. Perihal adik-adik Sudiro, mereka
juga tak iri akan sikap kakaknya. Bagi mereka mendapatkan bagian tanah dari
kakaknya adalah sebuah anugerah dan nikmat yang harus disyukuri.
Bukan hanya
itu, suatu waktu kakak Sulastri kena musibah. Pak Samsun, kakak sulung Sulastri
yang ikut transmigrasi swakarsa ke pulau Sumatera ternyata meninggal disana. Ia
meninggalkan seorang istri dan 4 orang anaknya yang masih kecil, sementara
seorang lagi masih jadi calon bayi alias masih dalam kandungan. Yang lebih menyedihkan, karena suatu hal
keluarga pak Samsun bangkrut, hartanya ludes. Apalagi sepeninggal pak Samsun,
nyaris mereka hidup menggelandang.
Melihat kenyataan
itu, akhirnya Sulastri dengan persetujuan Sudiro membantu Minah, istri Pak
Samsun beserta semua anaknya. Sulastri bahkan menjemput mereka dari Sumatra dan
mengajaknya tinggal di rumahnya yang tergolong luas. Minah-pun menerima
tawarannya, karena hanya Sulastri-lah satu-satunya tumpuhan hidupnya, apalagi
kondisinya yang sebentar lagi melahirkan, seolah ia sudah tidak bisa berpikir
panjang lagi. Yang ada dalam benaknya hanyalah keselamatan anak kelimanya yang
kelak dilahirkan tanpa suami disampingnya.
######
Rumah Sudiro
kian ramai. Dan kebahagiaan mereka makin lengkap ketika anak kelima Minah
lahir. Minah melahirkan anak laki-laki yang sehat. Sedih dan bahagia itu
bercampur jadi satu, pasalnya Pak Samsun sudah tiada, ia tidak bisa menyaksikan
kelahiran putra kelimanya.
Kini Rinto,
anak semata wayang Sudiro tidak sendiri lagi. Ada Marwan, Siti, Sri, Eko dan si
kecil Daud yang menemani. Saat pagi menjelang rumah itu tak sepi lagi. Seperti suara
ayam yang bersahutan di pagi hari, begitulah keadaan mereka. Namun Sudiro tak
pernah marah. Ia menganggap mereka seperti anak sendiri, dan tak
membeda-bedakan dalam berbagai hal.
Sebagai seorang
polisi, Sudiro memang amat disiplin. Dan untuk urusan disiplin, ia ingin
menerapkan disiplin itu di rumahnya, termasuk kepada anak istrinya dan kepada
Minah beserta kelima anaknya. Sayang…anak-anak Minah tak terbiasa dengan sikap
disiplin. Bagi mereka sikap Sudiro yang terlalu disiplin dianggapnya sebagai
suatu kekangan. Mereka jadi tak bebas tinggal di rumah itu.
Ketiga anak
Minah berontak, hanya Sri-lah yang menurut, sementara si Daud karena masih
kecil iapun tak tahu apa-apa. Menyadari hal
ini, akhirnya Minah mengajak serta anak-anaknya untuk pulang ke rumah orang
tuanya di kampung sebelah kampung Sudiro. Sebenarnya berat hati Sudiro dan
Sulastri melepas mereka, namun demi kebaikan mereka akhirnya diijinkanlah
mereka pergi.
Meski begitu
janji Sudiro tak pernah diingkari, walau anak-anak Minah sudah tidak tinggal di
rumahnya, tetapi Sudiro tetap menanggung biaya hidup mereka termasuk biaya
sekolahnya sampai mereka lulus nanti. Mendengar penuturan Sudiro, Sri merasa
iba. Ia bertekat tinggal dan mengabdi di rumah Sudiro apapun yang terjadi, demi
keempat saudaranya.
########
Sri
menjalani hari-harinya di rumah Sudiro. Meski tidak pernah diperlakukan sebagai
pembantu, namun ia selalu membantu pekerjaan Sulastri setiap hari sepulang
sekolah. Dan di rumah itulah Sri belajar banyak hal, mulai dari belajar memasak
dari Sulastri, belajar disiplin dari Sudiro dan belajar menjadi anak yang rajin
dari Rinto. Ia berani menepis anggapan saudara-saudaranya yang rela
meninggalkan rumah itu karena Sudiro galak. Senyatanya Sudiro adalah ayah yang
baik dan bijaksana. Bahkan, di mata Sri, Sudiro termasuk seorang polisi dan
petani yang budiman.
Sri bahkan
merasa tenang dan nyaman hidup ditengah-tengah keluarga Sudiro. Sampai akhirnya
Sri-pun menyelesaikan pendidikannya di SMEA. Sementara Rinto yang lebih dulu
lulus SMA, ia melanjutkan kuliah ke Surabaya. Dan Sri,….rupanya ia tak mau
beranjak dari rumah itu. Rumah yang memberinya banyak hal, termasuk membiayai
kehidupan ibu dan saudara-saudaranya, membuatnya ingin terus mengabdi pada si
empunya rumah.
Hari
telah berlalu, tahun telah berganti. Sri masih tetap mengabdikan dirinya di
rumah itu. Ia sering menemani Sulastri semenjak Sudiro sering dinas luar. Sementara
Rinto, yang sedang kuliah di Surabaya, rupanya ia tergoda oleh rayuan perempuan
matre yang sangat tidak disukai Sudiro. Namun seolah Rinto sudah terjerat panah
asmara Rukmini, perempuan penggoda itu, hingga nasehat Sudiro pun tak
didengarnya.
credit |
Melihat kenyataan
itu, Sulastri jadi sering sakit-sakitan. Dan Sudiro juga tak ingin anaknya
terjerumus ke dalam nafsu syetan. Ia mencari hari baik untuk menentukan tanggal
pernikahan Rinto dan Rukmini. Meski setengah hati, akhirnya Sudiro merestui
hubungan Rinto dan perempuan pujaan hatinya.
Pesta
pernikahan itu berlangsung sangat megah bagi penduduk desa sekitar rumah
Sudiro. Ia hanya berharap setelah pernikahan itu, anaknya bisa menjadi suami
yang baik dan merubah tabiat Rukmini yang kurang baik.
Ternyata
dugaan Sudiro salah. Rinto bahkan pergi meninggalkan rumah besar itu bersama
Rukmini. Ia meminta bagiannya agar dibelikan tanah lengkap dengan rumah di tempat
yang jauh dari orang tuanya. Demi menyenangkan hati anaknya, Sudiro-pun
meluluskan permintaan Rinto.
Mengetahui
Rinto pergi meninggalkan rumah dan kedua orang tuanya, agaknya sulastri menjadi
stress. Penyakit yang telah lama dideritanya, kian lama kian menjadi. Ia semakin
sering berjuang melawan penyakitnya, hingga suatu waktu perjuangannya mencapai
puncak yang tak bisa digapainya. Sulastri meninggal di hadapan suaminya dan
meninggalkan pesan kepada Sri.
“Sri…..sepertinya
aku sudah tidak kuat lagi berjuang melawan penyakitku. Aku ingin bebas dan
hidup lebih tenang lagi. Ada 2 buah mesin jahit, suatu saat rumah ini akan
diramaikan celoteh dua gadis cantik yang kelak menjadi pewarisku.” Tolong berikan
2 mesin jahit ini pada mereka ya……..
Setelah mengucapkan
kalimat di depan Sudiro dan Sri, Sulastri-pun langsung menghembuskan napas
terakhirnya. Sri yang sedari tadi duduk mematung, seakan tak sempat
menerjemahkan maksud kalimat Sulastri. Ia bahkan tak mengerti ada maksud apa
dibalik kalimat Sulastri yang membingungkan itu.
########
Semenjak
Sulastri meninggal, hari-hari Sri sepenuhnya untuk menemani Sudiro. Ia tak tahu
harus berbuat apa. Ingin rasanya meninggalkan rumah itu, namun ia tak mau
mengingkari janjinya. Keinginannya untuk mengabdikan diri di rumah itu sudah
bulat, apapun yang terjadi tetap harus ia jalani. Dan sekarang…..ketika Sudiro
hidup sebatang kara, tegakah ia meninggalkan lelaki yang sudah banyak membantu kehidupannya
dan keluarganya?
Biarlah waktu
yang menjawab semuanya. Andai Sudiro memintanya untuk menjadi pendamping
hidupnya, Sri pun akan menerimanya. Bukan semata-mata karena hartanya, tetapi
hanya itulah yang bisa diberikan kepada Sudiro sebagai wujud balas budi
keluarganya.
Tetapi bagaimana
dengan Minah? Apakah ia membiarkan anak gadisnya menikah dengan lelaki yang
lebih pantas dipanggil ayah? Sri duduk tertegun sambil menutup mukanya dengan
kedua tangannya.
1 Komentar
ceritanya mengharu biru ya mak...
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...