Suamiku……..Telah
lama sebenarnya aku memendam sebuah rasa untuk mencurahkan segalanya tentangmu.
Namun apa daya, aku hanyalah wanita yang lebih mementingkan ego ketimbang
mengumbar kebersamaan kita. Tapi percayalah, kebersamaan kita, bahkan
moment-moment indah yang mengisi hari-hari kita, selalu tersimpan rapi di
relung sanubariku. Dan bersama hembusan angin malam yang mengoyak ruang
batinku, ingin rasanya kubuka sebait episode kehidupan tentang kita.
Terung
terang, mengenalmu adalah sebuah karunia terindah yang Allah berikan sepanjang
perjalanan hidupku. Bersamamu, membuat hidupku penuh warna. Sedikitpun tak
pernah kusesali tentang perjumpaan kita. Meski dulu banyak orang mencibir
dengan hubungan kita. Hmm…masih jelas kuingat kala pertama kali kita
berkenalan. Bukan pacaran atau pegangan tangan ala anak muda lagi, melainkan
pertemuan kita karena sebuah perjodohan. Ya….perjodohan itulah yang membawa
kita sampai ke jenjang pernikahan. Tapi, salahkah itu?
Dulu, banyak orang yang menganggap
kita manusia yang tak romantis, sehingga begitu mudahnya menerima perjodohan
dari orang tua. Namun, aku tak pernah mempedulikannya. Bahkan, aku menganggap
bahwa inilah jalan hidup kita, kita menikah dalam sebuah perjodohan. Dan engkau
adalah jodoh yang Allah sodorkan untukku. Terus terang, untuk mendapatkanmu
bukanlah perkara yang mudah, karena perjodohan itu adalah ending dari
pergulatan cinta yang pernah kulakonkan. Jauh sebelum mengenalmu, aku harus tertatih-tatih,
bahkan berulang kali jatuh bangun demi mengejar cinta.
Hmm…sudahlah,
masa lalu itu tak perlu kuungkit lagi, karena jelas mengoyak batinku, bahkan
membuat luka lamaku kembali menganga. Kuingin menorehkan tinta emas bersamamu.
Karena perjodohan yang kita sepakati adalah bentuk bakti kita kepada orang tua.
Berulangkali engkaupun selalu menegaskan bahwa hubungan kita atas dasar rasa
hormat kepada orang tua yang telah banyak berjasa bahkan berjuang demi kita,
jadi tak mungkin ditolak apalagi dikhianati.
Suamiku…….Senyatanya
aku merasa aman berada dalam dekapanmu. Bahkan aku seolah menjadi wanita yang
sangat beruntung memilikimu. Tak sekalipun kau tunjukkan egomu, marahmu bahkan
kekasaranmu padaku. Engkau adalah pribadi yang santun, sabar dan penyayang
keluarga. Yang selalu terngiang di telingaku adalah ajaranmu untuk lebih
mendekatkan diri padaNya. Ya…kau selalu menginginkan kebahagiaan dalam rumah
tangga kita dengan berpedoman pada agama.
Bahkan,
aku kagum dengan pribadimu yang penyayang keluarga. Masih jelas kuingat ketika
pertama kali menjalani hari-hari kita di Papua. Sebuah babak baru yang kita
jalani di pulau seberang, nyaris tak ada campur tangan dari keluarga dekat
kita. Kita harus mengenal pribadi masing-masing demi menjalani hidup yang
benar-benar baru. Namun, sedikitpun tak ada rasa galau, bahkan gusar di raut
wajahmu. Yang kau tunjukkan padaku adalah sikap ingin melindungiku. Akupun
seolah tersanjung, karena aku bagai bidadari yang baru turun dari khayangan dan
disambut hangat oleh pangerannya.
Hmm…mengenang
kala pertama kali kita bersama, ingin rasanya kuluapkan rasa ini lewat butiran
air mata beningku. Betapa tidak, masa-masa sulit yang pernah kita lalui seolah
menjadi bukti bahwa hidup memang harus diperjuangkan. Uang gajimu yang harus
ludes demi usaha kita mendapatkan keturunan. Belum lagi tanggung jawabmu yang
harus mengurus permasalahan kantor dan anak buahmu. Bahkan, yang lebih
menyedihkan, ketika kau tak lagi memperhatikan kesehatanmu, penyakit malaria
itu hampir tiap bulan menyerangmu. Sedih rasanya melihatmu terbaring tak
berdaya diantara jarum-jarum infus itu.
Ironisnya,
kesedihan itu seolah tak mau pergi dari kehidupan kita. Setelah hampir dua
tahun kita berjuang untuk mendapatkan anak, dan selama itu pula gajimu telah
terkoyak, rentetan kejadian seakan berdesak-desakan ingin menguji kita. Mulai
dari kelahiran anak kita yang banyak membutuhkan biaya, sampai dengan malariamu
yang sering kambuh. Bahkan di usia anak kita yang belum genap satu tahun, dia
harus bolak-balik ke dokter karena berbagai penyakit yang dideritanya. Typus,
malaria, serampak bahkan tidak cocok dengan susu kaleng, nyaris mengurai air
mataku. Yang menyedihkan, kala engkau mendapatkan tugas harus ke Jawa, aku dan
anak kita yang kau tinggal di Papua harus berjuang melawan penyakit serampak.
Apalagi dengan penyakit serampak yang menjalar ke tubuhnya, membuat kondisinya
tidak tahan terhadap susu kaleng, sementara susu yang dianjurkan dokter sedang
kehabisan stok. Aku terpaksa menggantinya dengan air gula, agar tubuhnya tidak
lemas. Dan engkau….dengan segala pengorbananmu, sekembalinya dari Jawa, kopermu
berisi sepuluh kaleng susu untuk anak kita.
Suamiku……Mengenang
perjalanan hidup kita memang tiada habisnya. Berulangkali kita harus menjalani
Long Distance Marriage. Namun berapapun jauhnya jarak yang memisahkan kita, tak
sedikitpun mengoyak cinta kita. Kau selalu menyelipkan kepercayaan dan
kesetiaan dalam hubungan kita. Bukan atas dasar perjodohan orang tua yang
membuatmu demikian tunduk padaku, tapi itulah sejatinya dirimu. Engkau yang penyayang
keluarga, bertanggung jawab bahkan selalu mengatasnamakan keluarga demi
kebahagiaan, seolah membuat cinta kita makin terjalin erat. Lihatlah anak kita,
yang makin tumbuh besar. Ia menjadi pribadi yang disiplin, cerdas dan hormat
pada orang tua. Bahkan iapun kini pandai mengaji dan tekun beribadah. Semua itu
karena didikanmu.
Terus
terang aku bangga memilikimu. Airmataku yang selalu mengalir manakala berpisah
denganmu bukan karena aku cengeng, melainkan aku tak ingin berada jauh darimu.
Sejatinya aku merasa nyaman berada didekatmu. Apalagi, engkau yang selalu
menganggap bahagia itu adalah ketika kita bisa berkumpul bersama, apapun dan
bagaimanapun keadaan kita, duh….semakin membuat hatiku trenyuh. Kemanapun
bertugas, engkau selalu membawa serta aku dan anak kita. Bahkan, kau pun tak
pernah mempermasalahkan statusku yang hanya sebagai ibu rumah tangga. Kau tak
pernah menuntut aku berlebihan. Memasak, mencuci, membersihkan rumah,
menyiapkan perlengkapanmu bahkan mengurus anak, bukanlah sebuah beban yang harus
kupikul seorang diri. Sedih…itulah yang kurasakan manakala kudapati engkau rela
membantuku di waktu senggangmu, meski aku sudah menolakmu. Bahkan, engkaupun
rela pergi ke pasar seorang diri demi membantuku membeli bahan-bahan masakan.
Yang
membuatku kagum, engkau selalu terbuka masalah keuangan. Semua gajimu kau
serahkan padaku. Bahkan ketika kau dapatkan uang tambahan dari rekan kerjamu,
engkau pun selalu berterus terang. Memang itulah senyatanya dalam berumah
tangga, dituntut keterbukaan dalam semua hal, terutama masalah keuangan. Karena
masalah keuangan sangat rentan. Dan aku sangat menghormatimu. Sebagai istri,
akupun tak pernah menuntut banyak. Bagiku, gaji yang kau berikan padaku sudah
lebih dari cukup, tak perlu aku menuntut yang lain. Yang terpenting, anak kita
merasa nyaman dan tercukupi.
Suamiku…..rasanya
hanya syukurlah yang senantiasa kupanjatkan pada Allah. Hari-hari yang kita
renda bersama terasa begitu indah. Meski kita tak bergelimang harta, namun
bahagia itu selalu menyertai kita. Kompak, penuh canda tawa dan tak ada cekcok,
itulah gambaran cerita indah yang kita rajut bersama. Yah….memang benar adanya,
bahagia itu ketika kita bisa berkumpul bersama, dimanapun dan kapanpun itu. Tak
sedikitpun rasa kecewa itu hadir dalam hubungan kita. Sejatinya, aku sangat
menerima keadaan ini. Kan kujaga tali suci pernikahan kita. Kan kurawat
kesetiaan dan kepercayaan yang pernah kau bisikkan demi hubungan ini. Aku
berharap, cerita yang kita torehkan akan selalu indah sampai endingnya nanti. Karena
kuyakin, Allah senantiasa memberikan nikmat kepada hambaNya yang pandai
bersyukur.
(Tulisanku untuk Antologi #CurhatIstriPadaSuami - Diva Press)
2 Komentar
Indahnya. Tersirat makna yang dalam
BalasHapushehehe....belajar menulis
HapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...