Bagiku, berani Move On sama halnya dengan siap menerima
tantangan. Seperti halnya diriku, mungkin semua orang pernah mengalami situasi
yang tak mengenakkan dalam hidupnya, hingga harus mengambil langkah baru dan berharap
bisa lepas dari belenggu yang menjeratnya. Setelahnya tantangan baru siap dihadapi demi
mendapatkan sesuatu yang lebih baik.
Hidup senyatanya memang harus diperjuangkan. Aku masih ingat
pertama kalinya sebuah keadaan yang tak menguntungkan resmi melingkupi
hari-hariku. Saat dimana aku harus melepas jabatanku dalam sebuah perusahaan
untuk mengikuti suamiku yang bertugas di Papua.
menikah membuatku kehilangan pekerjaan |
Coba bayangkan saudara……aku yang dari dulu mati-matian
mendapatkan gelar sarjana, sampai kerja sampinganpun kulakukan demi selembar
ijasah dari universitas negeri di Malang. Dan berkat kerja kerasku, akupun diterima di sebuah
perusahaan swasta di Surabaya. Disana, jabatan demi jabatan kudapatkan, hingga
akhirnya pimpinan mempercayaiku untuk memegang sebuah divisi. Disaat karierku
bagus, aku harus melepas semuanya demi sebuah pernikahan.
Dilema memang…..di satu sisi aku harus meninggalkan sebuah
peluang besar di perusahaan itu, di sisi lain menikah adalah kewajiban bagi
umat muslim. Begitu menikah aku harus resign dari tempat kerjaku dan mengikuti
suamiku yang berdinas di Papua. Namun teman-temanku selalu memberiku support,
di Papua kelak aku akan mendapatkan pekerjaan baru. Dan mereka yakin peluangku
untuk bekerja lagi di sana sangat besar, mengingat pengalaman kerjaku di
Surabaya sudah cukup banyak.
Ternyata, semuanya tak seindah bayangan. Suamiku yang
notabene seorang anggota TNI yang waktu itu berpangkat Letnan Satu senior,
mengharuskan aku aktif dalam organisasi Persit (Persatuan Istri Tentara).
Apalagi jabatan suami bukan lagi sebagai Danton, namun sudah menjadi Pasi,
otomatis anggotanya seluruh asrama.
Sudah bisa dibayangkan sebuah detasemen pasti mayoritas
anggotanya relatif muda. Sebagian besar dari mereka adalah pasangan muda yang
masih labil. Dan pertama kali aku bergabung dengan ibu-ibu di asrama, ada
sedikit rasa gusar yang menyelimutiku. Tadinya
aku bisa ngakak sepuasnya di kantor dengan teman-teman sebaya, kini, disaat
kumpul bersama, entah itu untuk senam bersama atau arisan anggota, yang
kuhadapi adalah ibu-ibu yang usianya diatasku. Otomatis aku harus menjaga sikap didepan
mereka.
Sementara….karena aku istri perwira, sudah barang tentu
mereka menghormatiku, dan bertingkah laku sesopan mungkin dihadapanku.
Duh…..sungguh keadaan yang membuatku tidak nyaman. Bahkan, sesuatu yang membuatku harus menghela
nafas, manakala menghadapi tingkah polah ibu-ibu yang bermacam-macam.
Yah…namanya ibu-ibu muda, meski umurnya diatasku, namun mereka masih labil.
Apalagi mereka tidak berasal dari daerah yang sama, tentunya watak dan
temperamennya juga berbeda.
aku dan aktifitasku |
Yang membuatku seolah tak percaya, tiba-tiba aku mendadak jadi seorang psikolog.
Rumahku sering didatangi ibu-ibu dengan berbagai keluhan dan permasalahannya.
Padahal aku ini baru saja menikah, tentunya belum banyak pengalaman. Aku juga
bukan sarjana psikolog, bahkan statusku hanya seorang istri bukan pegawai. Yah…aku
tahu, karena aku dianggap senior, akhirnya ibu-ibu menjadikanku sebagai tempat
mengadu.
Dari sinilah aku mulai menghadapi situasi yang tak
mengenakkan, dimana niat awalku untuk mencari pekerjaan di Papua, ternyata gagal.
Jabatan suamiku yang mengharuskan aku terjun langsung mengurus ibu-ibu anggota,
mulai dari menyelesaikan permasalahan mereka, membuat mereka jadi rukun satu
sama lain, sampai dengan menunggui mereka disaat berlatih untuk sebuah lomba.
Awalnya aku merasakan sebuah dilema, karena aku tak bisa
lagi mengenakan busana kantor dengan sepatu berhak tinggi. Sebaliknya, aku
harus berseragam hijau dengan sepatu berhak lima senti dan siap berkeliling dengan
truk bersama ibu-ibu.
Sempat lama aku berpikir, bahkan terbersit keinginan untuk
pulang ke kampung halaman dan meninggalkan suami demi sebuah pekerjaan. Namun seolah pikiranku terhenti pada sebuah
kata “tanggung jawab”. Andai aku pulang ke kampung halaman, sama halnya aku
lari dari tanggung jawab, meninggalkan suami dan meninggalkan ibu-ibu yang
menjadi anggotaku.
Tak jarang dalam sujud panjangku, kumohonkan petunjuk kepada
Allah agar diberikan jalan terbaik dalam menghadapi masalah ini. Lama kuterdiam
dalam kebimbangan, sampai akhirnya kudapatkan sebuah jawaban. Karena kuyakin
inilah petunjuk yang Allah berikan padaku. Yaitu sebuah jawaban dimana aku
harus mendampingi suami dan ibu-ibu di asrama.
Aku sering dipanggil ibu ketuaku untuk mendampingi ibu-ibu mengikuti
berbagai kegiatan seperti lomba senam, lomba memasak, bahkan sesekali aku
ditunjuk untuk menghadiri sebuah acara dalam rangka peringatan hari Kartini dan
hari Ibu. Hanya rasa tanggung jawab dan kesabaranlah yang senantiasa
kukumandangkan dalam hati, agar aku tak merasa jenuh merenda hari-hariku
bersama mereka.
Kenyataannya, ketika aku sangat menikmati hari-hariku, sebuah
pengalaman berharga telah kudapatkan dari sini. Memang rasa bosan atau rasa
kecewa pernah menderaku, namun aku segera menepisnya dengan berbagai tantangan
baru. Hidup di Papua, jauh dengan sanak saudara, membuat hubunganku dan ibu-ibu
makin akrab. Tak ada lagi perbedaan, walau mereka masih menghormatiku karena
aku dianggap senior.
Namun satu hal yang kudapatkan disini, saat tantangan itu
berusaha kuraih, aku jadi tahu segalanya. Berteman dengan ibu-ibu membuat
pengalamanku jadi banyak. Aku jadi pandai memasak, bisa menari bahkan aku jadi
pribadi yang berani mengambil keputusan dan berani tampil di depan umum.
Terlebih aku bisa menerima kenyataan, bahwa pekerjaan kini bukan lagi jadi
prioritas utamaku.
Dan senyatanya tantangan terberat dalam hidupku adalah mendampingi
suami yang berpindah-pindah tugasnya. Jauh sebelum menikah, aku sempat beberapa
kali gagal menjalin hubungan. Seperti layaknya mereka yang patah hati, akupun
sempat merasakan stress dan terguncang. Namun aku sadar mungkin mereka bukan
jodohku. Lewat sujud panjangku kutemukan sebuah jawaban, karena tanpa kusangka
Allah memberiku jodoh yang kini resmi jadi suamiku.
Menikah adalah caraku Move On dari keterpurukan, sehingga
aku harus menghadapi tantangan baru dimana setelah menikah aku harus
meninggalkan keluarga dan kampung halaman.
Banyak kejadian yang menguras air mataku, mulai usahaku mendapatkan
keturunan hingga melahirkan pun tanpa kehadiran ibu atau orang-orang
terdekatku.
Bahkan disaat anakku sakit tanpa suami disampingku pun
pernah kualami. Apalagi ketika suamiku harus bolak-balik masuk rumah sakit
karena terserang malaria, sementara anakku masih balita, otomatis aku yang
harus mondar-mandir mengurus suami dan anak. Yah, semua itu mengantarkanku
menjadi pribadi yang tangguh dan siap merenda hari-hari yang penuh makna.
Karena, kini kutelah memetik hasilnya, yaitu sebuah pengalaman hidup yang
sangat berharga.
"Ayo bangkit generasi MOVE ON! Ikutan BIRTHDAY GIVEAWAY: MOVE ON yuuuk"
12 Komentar
Wahhh, impian saya tuh jadi istri perwira tapi bukan jodoh hehehe, keren makk, jadi istri perwira lebih baik daripada wanita karier tpi tak diridhoi suami, gpp move on terus! banyak teman dan banyak pengalaman karena seringpindah tugas, sukses ya GA nya! salam kenal dari Cianjur
BalasHapushehehe...jodoh itu urusan Allah mak, saya juga tak pernah menyangka akan berjodoh dengan tentara, yang penting hidup ini harus kita jalani dengan ikhlas dan penuh rasa syukur.
BalasHapusTerima kasih ya mak
Wah perjuangan hidup yang benar-benar hebat dirimu mba. Salut deh, seperti harus ikhlas mengorbankan karir demi keluarga. Peluuuh hangat deh mba ^_^ menginspirasi bgt :)
BalasHapusGimana niat ya mbak, move on bisa berhasil atau tidaknya. Aku juga dulu kerja tapi pas nikah jadi ibu rumah tangga
BalasHapusSubhanallah, perjuangannya keren sekali mak, ikut suami ke tempat jauh pasti berat. Semangat!
BalasHapusAku suka sekali dengan para istri TNI, yang dengan setia menemani kemanapun suaminya tugas... Aku keknya juga pernah move on untuk masalah ini daaah *dah telat belum yaaa GAnyaa
BalasHapusMove Onnya mendatangkan rezeki lainnya ya, Mba. Senang bisa diberi kepercayaan sam Bu Ketua, ya.
BalasHapusSukses selalu. . .
bener2 tangguh. Kayaknya saya belom bisa kayak gitu. Kemaren ditinggal hampir 3 minggu aja, kayaknya gak tahan hihi
BalasHapusSalut mak,dirimu kereeeen :)
BalasHapusalhamdulillah mbak luar biasa perjuangannya, salut saya. soalnya saya anank tentara, saya juga paham rasanya pindah2 dan yaaa harus merelakan banyak hal hehe. ibu saya juga seperti itu.
BalasHapusWah, berasa jadi punya banyak anak juga ya mbak kalau sering jadi tempat curhat. Keren mbak bisa berdamai dengan "limpahan" tugas ;)
BalasHapusMakasih ya mbak sudah ikutan GA Move ON ;)
salut banget sama wanita yang menginspriratif kayak mbak ini. saya belum menikah tapi melihat seorang istri yang mendedikasikan hidup untuk melayani keluarga kayak mbak ini sangat mulia hloh mbak. semoga besok kalau saya menikah juga bisa jadi istri yang baik kayak mbak ini hehe salam kenal semarang
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...