Hidup memang bukan soal enak dan tidak enak. Hidup juga
bukan perkara menang dan kalah. Karena setiap dari kita selalu dituntut untuk
memperjuangkan hidup. Dan hidup senyatanya adalah perjalanan panjang yang
didalamnya penuh kisah heroik hingga bermuara pada sebentuk keikhlasan.
Demikian juga dengan hadirnya anak. Bertahun-tahun setelah
kelahiran anak pertama kami, kami sudah berusaha untuk mendapatkan momongan
lagi. Namun sampai detik ini rupanya Allah belum menghendaki-Nya. Dan dari
suamikulah aku mengerti makna sabar dan ikhlas. Bahkan akupun jadi bersyukur
telah dikarunia seorang anak. Itu artinya aku dan suamiku harus memberikan
kasih sayang yang utuh, mendidiknya dengan baik serta membekalinya dengan ilmu
agama dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Senyatanya masih banyak pasangan
yang bertahun-tahun mendambakan momongan, sampai detik inipun belum
mendapatkannya.
Ikhlas memang tak semudah dalam ucapan. Sejatinya butuh
kesabaran untuk benar-benar ikhlas menerima sebuah keadaan. Sudah lama aku
belajar ikhlas, sejak aku mengerti hidup bukan hanya sekedar makan atau minum
saja. Yang kutahu sepanjang perjalanan hidupku, beberapa kali aku berjuang demi
mendapatkan ikhlas yang sebenarnya tentang keadaan yang membelengguku.
Dulu….kala aku kehilangan sepeda gayungku saat masih duduk
di bangku SMP, rasanya kekecewaan berkepanjangan sempat menderaku. Aku menyesal
mengapa terlalu ceroboh memarkir sepeda dipinggir jalan tanpa dikunci. Namun
almarhum ayah dengan bijaknya memintaku untuk mengikhlaskan sepeda yang belum
sebulan jadi milikku itu. Beliau juga bilang mungkin sepeda itu memang bukan
milikku, suatu saat Allah pasti akan menggantinya.
Mendengar penuturan Ayah, hatiku lega. Lama-kelamaan akupun
mengikhlaskannya. Dan memang benar adanya, ketika sesuatu tengah mendera kita,
hanya ikhlaslah yang membuat hati kita terasa tenteram dan damai.
Bukan hanya kehilangan sepeda membuatku belajar tentang
ikhlas. Saat aku masih duduk di bangku SMA, tiba-tiba ayah yang selama itu
kujadikan figur ayah sejati, harus menghadap keharibaan-Nya. Aku merasa Allah
tidak adil, Ia telah merenggut kebahagiaanku yang terasa sesaat itu. Namun
kembali, rasa ikhlas-lah yang membuatku benar-benar sadar bahwa setiap manusia
itu kelak akan mati. Siapapun dari kita tak akan bisa mengelak dari takdir
Allah ini. Ibarat sedang mengantri di loket, kita hidup di dunia ini hanya
sementara, sambil menunggu nomor urut antrian kita dipanggil.
Sejak ayah tiada, aku selalu belajar tentang arti ikhlas,
karena segala sesuatu bila didasari dengan ikhlas, niscaya hasilnya memuaskan.
Meski begitu aku bukan tipe orang yang bisa menjalankan ikhlas dengan baik. Ada
kalanya egoku berada diatas dan meruntuhkan rasa ikhlasku. Seperti kejadian
saat aku menerima kenyataan bahwa lelaki yang ingin serius denganku tiba-tiba
berpaling ke wanita lain. Sedih dan marah aku saat itu. Bayangkan, aku yang
dengan susah payah menerima dirinya apa adanya. Dan disaat hatiku benar-benar
menerimanya, ia dengan seenaknya pergi tanpa pesan. Bahkan sesuatu yang
membuatku sakit hati saat seorang wanita, entah siapa dia, tiba-tiba
menghakimiku, memfitnahku dan menuduhku yang bukan-bukan.
Ternyata amarah itu tak membuat hati makin tenang. Hanya
sholat-lah yang membuatku ikhlas menerima keadaan yang menimpaku. Dalam
keikhlasanku, aku selalu memohon pada-Nya agar diberikan jalan terbaik. Allah
memang tidak tidur, Ia selalu menjawab doa hamba-Nya yang senantiasa berdoa.
Tanpa kusangka, Allah menghadirkan seorang jodoh yang kini telah 10 tahun
bersamaku, merenda hari yang penuh liku ini.
Dan senyatanya, sepanjang pernikahanku banyak kejadian yang
menguras air mata dan tenagaku. Berulangkali aku dan suamiku jatuh bangun dalam
membangun rumah tangga kami. Teman yang tadinya sudah kami anggap seperti
keluarga sendiri, dengan tiba-tiba menusuk dari belakang. Awalnya ia banyak
memberikan sesuatu kepada kami, entah itu jamuan makan, barang-barang seperti
handphone, ipad dan masih banyak lagi. Kami enggan menerimanya, karena takut
tak bisa balas budi. Namun ia memaksanya. Demi persahabatan, akhirnya kami
terima pemberiannya.
Ternyata, dia lari membawa kabur uang kami sekian puluh
juta. Kok bisa? Begini ceritanya! Awalnya dia berdalih meminjam sambil
menghiba. Karena kami sudah akrab dengannya, sedikitpun tak curiga pada
perangainya. Apalagi suamiku yang gampang iba terhadap penderitaan teman, demi
mendengar keluh kesah temannya, akhirnya diluluskanlah permintaannya itu.
Yah…apa mau dikata, semua sudah terjadi. Dia pergi entah kemana.
Satu kata yang membuatku salut pada suamiku: “ikhlas”. Setiap
kejadian yang menimpa kami, ia selalu mengajariku untuk “ikhlas” menerimanya.
Bahkan yang membuatku trenyuh dan ingin nangis Bombay adalah deretan kalimatnya
yang seperti ini:
“Sudahlah ikhlaskan saja, itu artinya uang sebanyak itu bukan rejeki kita. Anggap saja kita tak pernah mempunyai uang itu, jadinya tidak terus memikirkannya. Allah tidak tidur. Kalau kita menempatkan ikhlas dan syukur dalam kehidupan kita, suatu saat Allah akan memberi gantinya. Yakin saja sambil terus berdoa dan berusaha.”
Yah…suamiku adalah sumber inspirasiku untuk berbuat ikhlas.
Ketika aku bertemu dengan teman kuliahku yang sukses dalam pekerjaannya, dia
seolah menyayangkan statusku yang hanya berkutat di dapur. Padahal dulu aku
tergolong mahasiswa yang mampu mengikuti perkuliahan. Andaipun melamar
pekerjaan di kantor pasti diterima. Lagi-lagi suamiku menguatkanku dengan kata
ikhlas, manakala aku berkeluh kesah padanya.
keluarga kecilku |
Kini, egoku masih saja berkelana mengusir ikhlasku. Aku
sempat iri dengan sebuah status di facebook. Kala pagi, disaat mayoritas ibu
rumah tangga tengah bercengkerama dengan pekerjaan dapurnya, ia sudah
memposting sebuah tulisan di blognya. Bahkan ia akan melanjutkan mengetik untuk
naskah bukunya. Duh….mengapa aku tidak bisa sepertinya?
Pekerjaan rumah tanggaku seolah tiada habisnya. Dari shubuh
hingga jam 12 siang masih saja kukerjakan rutinitasku. Baru setelahnya aku bisa
duduk manis di depan laptopku. Itupun hanya beberapa jam, karena aku harus
menjemput anakku dan mengantarkannya mengaji di masjid seberang. Kadang ketika
jadwal itu sudah kususun dengan rapi, ada saja kejadian lain yang timbul.
Seperti pagi ini, tiba-tiba anakku terjatuh dari sepeda, tubuhnya memar karena
masuk got dan dagunya menatap tepi got. Otomatis perhatianku harus terpusat
pada anakku. Aktifitas menulisku kuhentikan sejenak demi anak. Kalau sudah
demikian kadang aku sempat merasa geram.
Namun suamikulah yang kemudian menyadarkanku. Bahwa setiap
kehidupan yang melingkupi kita, baik itu suka maupun duka, harus dibarengi rasa
ikhlas didalamnya. Demikian juga dengan status yang melekat dalam diri kita.
Entah itu sebagai seorang pekerja atau ibu rumah tangga biasa, atau bahkan ibu
yang mengembangkan hobinya, tentunya harus ada rasa ikhlas menjalankannya.
Tanpa ikhlas tak ada sesuatu pekerjaan yang berhasil dengan baik pada akhirnya.
Itulah sebabnya kita tak boleh menyimpulkan orang lain hanya
dari sisi penglihatan kita. Kadang kita menglihat kehidupan seseorang yang
serba mewah, punya ini-itu, pastinya bakal bahagia. Namun apakah demikian
kenyataannya. Kita tak tahu, hanya dialah yang menjalani kehidupannya, yang
tahu.
Sekali lagi hidup bukan masalah mudah atau sulit. Mengapa
mereka mudah mendapatkan sesuatu, dan mengapa kita sulit meraih kesuksesan.
Melainkan, hidup harus diperjuangkan. Tak perlu kita memikirkan keburukan orang
lain. Yang harus kita pikirkan adalah diri kita sendiri. Apakah sejauh ini kita
sudah dapat menerima kehidupan kita dengan ikhlas, sabar dan penuh rasa syukur?
Kelak tinta yang sudah tertoreh
sepanjang perjalanan hidup kita, akan dimintai pertanggungjawaban oleh
Allah.
Sudah sepantasnya kita jalani hidup kita dengan penuh rasa
ikhlas sembari terus memperjuangkannya. Bukankah ikhlas itu sama halnya
mengharap ridho-Nya? Mari kita sama-sama menjalani kehidupan yang bermuara pada
lautan keikhlasan!
11 Komentar
Bener banget mbak, ikhlas itu memang sangat susah. Butuh waktu yang panjang. Beruntung, kita ditemani orang-orang yang menyayangi kita. Hingga hal yang awalnya begitu susah, akhirnya bisa kita ikhlaskan.
BalasHapusCeritanya membuatku terharu. Makasih banyak sudah berbagi. Sukses GA-nya. ^^
bener mbak untuk berbuat ikhlas memang tak semudah dalam ucapan, kita harus berjuang melawan ego untuk benar-benar berada dalam titik ikhlas.
HapusTerima kasih kembali
Sama, Mba, pagi2 juga aku sibuk nyiapin anak sekolah :D Semoga kita bisa ikhlas terus ya menjadi ibu rumah tangga benar2 pengorbanan besar.
BalasHapusbener banget mba buat ikhlas itu gak semudah membalikan telapang tangan
BalasHapusdalam kehidupan kita akan selalu bertemu dengan peristiwa yang membuat kita belajar tentang keikhlasan,,,kehilangan sepeda, kehilangan ayah, ditipu teman dan sebagainya...
BalasHapusdan disitulah kita diuji dan belajar tentang ikhlas...
selamat berlomba...semoga menjadi yg terbaik..
keep happy blogging always..salam dari Makassar :-)
Mba Yuni tegar banget, ya. Semoga temannya mendapat hidayah dariNya.
BalasHapusSemoga dilapangkan barokah rezeki ya, Mba. Trmasuk anak. . . :)
ikutan belajar ikhlas, semoga sukses ya mbak
BalasHapusbetul ya mba, ikhlas adalah salah satu kuci hidup tenang dan damai.
BalasHapusIkhlas kunci utamanya ya Mba
BalasHapusIya ya mak.. dengan ikhlas maka hati jadi ringan untuk terus melaju ke arah masa depan. Makasih sudah ikut GA ku mak
BalasHapusTapi aq kdang msih sulit bgt bngt untuk iklhas dngn rsa skit yg aq rsakan baik dri kluarga,temn,atupun psangan hidup,jujur kdng rsa putus asa itu muncul tiba tiba,hnya saja aq msih tkut dngn dosa besar klo aq ptus asa,mkanya antra ikhlas dn ngk dlm hti sellu brtnya knpa aq hrus mngalami smua ini knpa dan knpa itu yg slalu mnari nari di kepalaku stiap hri smpe aq ngk bs memejamkan mta ku tiap mlm...
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...