Inilah yang membuatku kaget. Hari Sabtu tiba-tiba anakku
menyodori selembar kertas jadwal UTS (Ujian Tengah Semester). Ujian itu akan dilaksanakan selama
seminggu mulai hari Senin. Sebenarnya kapanpun dilaksanakan ujian, siswa harus
siap, karena tugas siswa sejak jaman sekolah berdiri adalah belajar. Namun
rasanya ini seperti sekolah main-main.
sumber ada disini |
Di saat semua sekolah di Indonesia melaksanakan UTS
serentak, sang KepSek tak mengikuti aturan, dengan meniadakan UTS. Alasannya
anak-anak kelas 6 akan melaksanakan ujian pemantapan. Banyak orang tua murid
menggerutu. Tidak ada UTS sama halnya anak-anak harus berjuang mencari nilai
saat ulangan harian atau pengumpulan tugas. Dan di khawatirkan nilai akhir
semester nanti akan hancur, karena tak ada UTS sebagai latihan ujian.
Begitu para orang tua menerima keputusan sepihak dari KepSek,
tiba-tiba beredarlah kabar pelaksanaan UTS yang mendadak. Jangankan orang tua
murid, guru sekolahpun tak semuanya tahu. Ada beberapa yang sedang ijin cuti
hari raya, sehingga saat mendapatkan kabar UTS merekapun kaget.
Belajar dari sekelumit pengalaman ini, seorang pimpinan
entah itu Kepsek atau direktur atau pimpinan lainnya harus pandai menghandle
bawahan dan organisasinya. Ketika “ia” ditunjuk sebagai atasan sebisa mungkin
melaksanakan aturan yang telah ditetapkan pusat. Kalau dari pusat mengharuskan
“A” maka laksanakan “A”, jangan menentangnya kalau tidak ingin mendapat sangsi.
Demikian juga saat mengambil keputusan. Memang yang disebut
pimpinan adalah orang nomor satu di suatu organisasi atau instansi. Namun ia
tidak bekerja sendiri. Ada wakil dan staff yang membantu pekerjaannya. Sebisa
mungkin setiap keputusan yang akan diambil haruslah di musyawarahkan terlebih
dahulu dengan bawahan, agar mereka tahu dan bisa menerima keputusan tersebut.
Sempat terdengar janji caleg yang bila dirinya terpilih akan
menggratiskan biaya sekolah, tidak ada lagi anak-anak usia sekolah yang tidak
bersekolah. Yah…mungkin itu sah-sah saja. Sekolah gratis akan membuat rakyat
bahagia. Namun ada hal yang perlu dikaji yaitu SDM, dalam hal ini tenaga
pendidik. Apakah dengan gratisnya biaya pendidikan berarti tenaga pendidik itu
dengan suka rela menularkan ilmunya semaksimal mungkin?
Pernah mendengar slentingan ibu-ibu…..”sekolah negeri kok
minta lebih, gurunya gak bakalan menerangkan dengan gamblang, kalau mau
muridnya pinter ya bayar, sana sekolah di sekolah yang mahal bayarannya…..”
Akupun pernah mengalami nasib yang serupa dengan anakku.
Kebetulan anakku bersekolah di sekolah negeri. Saat itu ia tidak bisa menjawab
LKSnya karena jawaban tidak ada di bacaan sebelumnya. Lantas ia bertanya pada
gurunya. Sang gurupun dengan ketus menjawab, “kalau mau tahu jawabannya berarti
LKSmu gak usah dinilai.” Ya sudah akhirnya beberapa jawaban yang tidak
diketahui anakku akhirnya dikosongi, dan tahu saudara berapa nilai anakku?
“50”….nilai yang memalukan.
Itulah mengapa sekolah gratis sering dianggap sebagai
sekolah main-main, tidak maju, tidak bermutu dan tidak berkualitas. Kalau dulu
orang tua bangga anaknya dapat diterima di sekolah negeri, karena jaman dulu
hanya anak-anak yang pandailah yang mampu bersekolah di sekolah negeri.
Sekarang, sekolah negeri ibaratkan sekolah murahan yang gurunya hanya numpang
ngajar. Seolah predikat “pahlawan tanpa tanda jasa” itu lenyap. Sungguh sangat
ironi.
Andai para tenaga pendidik sadar akan dedikasinya untuk
mencerdaskan bangsa, mungkin mereka akan bekerja tanpa pamrih membuat anak
didiknya pandai. Meski saat ini uang adalah prioritas untuk menyejahterakan
keluarga, namun janganlah mengabaikan tugas utama sebagai pendidik.
Semoga kedepan, dengan semakin banyaknya sekolah gratis, tak
ada lagi anak yang putus sekolah. Bahkan mereka akan tumbuh menjadi anak-anak
yang cerdas berkat didikan gurunya di sekolah. Mari kita sama-sama
mengembalikan citra sekolah negeri yang saat ini mungkin makin suram karena
tersaingi oleh sekolah-sekolah swasta.
3 Komentar
semoga makin baik ya dan anak-anak bisa lebih pintar
BalasHapusSebenarnya nggak semua guru sekolah negeri begitu sih. Walau ya saya juga pernah mengalami saat di SMP & SMA, masih ada jam kosong & saya nggak paham apa yang dijelaskan guru. Ada juga yang lebih murah ilmu terhadap anak yang les di rumahnya. Sekarang banyak guru sudah dapat sertifikasi, gaji dobel-dobel. Semoga diiringi dengan peningkatan kualitas pengajaran.
BalasHapusWah :D mendadak ujian :D kalo aku sih ga pernah bingung masalah gtuan :3 hehe
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...