Tanggal 31 Maret yang lalu bertepatan dengan Hari Raya Nyepi. Seluruh umat Hindu yang mayoritas mendiami pulau Bali merayakan Nyepi dengan berdiam diri di rumah. Disaat sebagian masyarakat Indonesia tengah menikmati libur panjangnya, bahkan banyak diantara mereka yang terjebak dalam kemacetan, rupanya masyarakat Bali memilih berdiam diri di dalam rumah.
Ini adalah pengalaman pertama saya menghabiskan Nyepi di Bali, setelah sebelumnya libur Nyepi saya gunakan untuk mudik ke Jawa. Bukan tanpa sebab, namun saya ingin mencari tahu mengapa para pendatang itu selalu mudik menjelang Nyepi, bahkan rela berjubel di tempat pembelian tiket masuk pelabuhan penyeberangan.
Nyepi tahun lalu memang saya gunakan untuk pulang kampung bersama anak dan suami mengendarai sepeda motor. Kebetulan suami mendapat ijin cuti, jadi kami pulang sehari sebelum Nyepi . Menjelang Nyepi lalu lintas menuju pelabuhan penyeberangan memang terlihat ramai. Jalanan dipenuhi oleh pemudik yang berasal dari Banyuwangi dan sekitarnya. Sebagian besar dari mereka lebih memilih mengendarai sepeda motor agar cepat sampai tujuan. Namun tak jarang, kecelakaan itu seringkali terjadi, karena kondisi jalan yang tidak rata dan kurang hati-hati berkendara.
Selain di penuhi oleh para pemudik, agaknya umat Hindu yang akan merayakan Nyepi juga melaksanakan tradisi "Melis". Saya kurang begitu paham apa arti sebenarnya, namun menurut pengamatan saya, melis adalah tradisi menyucikan diri sebelum Nyepi tiba. Biasanya mereka melakukan arak-arakan dengan mengenakan pakaian adat dan diiringi oleh suara gamelan Bali menuju ke pantai. Tak jarang keadaan seperti itu membuat jalanan jadi macet, bahkan sebagian jalan terpaksa ditutup, sehingga kendaraan yang harusnya melewati jalan itu terpaksa harus diubah haluannya. Inilah yang kadang menghambat perjalanan.
Belum lagi ritual berebut kapal ferry yang seolah tak pernah berubah, kadang membuat saya malas pulang kampung menjelang Nyepi. Entah mengapa orang lebih suka berebut ketimbang mengikuti aturan dengan tertib berbaris sesuai urutannya, toh mereka pada akhirnya juga dapat bagian tiket dan dapat menyeberang dengan kapal ferry yang ditunjuk. Mungkin asyik kali ya rebutan kapal hehehe......
Kali ini rasa penasaran saya tentang menjelang dan saat Nyepi di Bali, saya gunakan untuk mencari tahu atraksi yang akan dilaksanakan. Dan memang gaung Nyepi terdengar beberapa hari sebelumnya. Seperti saat menjelang lebaran Idul Fitri, dimana banyak suara petasan, di Bali pun juga demikian. Ada yang unik dari tradisi ini. Kalau menjelang lebaran, seringkali kita dengar suara petasan yang banyak di jual di pinggir toko, menjelang Nyepi yang terdengar adalah suara "lodom" atau "lom-loman".
Lom-loman ini tidak dijual bebas melainkan dibuat sendiri oleh anak-anak. Bahannya dari bambu sepanjang kurang lebih 50 cm, bisa juga dari pipa paralon yang agak besar lubangnya, lantas dinyalakan dengan minyak spirtus. Bunyinya pun membuat gendang telinga seolah pecah, sangat keras.
Bukan hanya suara "lodom" atau "lom-loman" yang bersahutan, namun umat Hindu yang terbagi dalam tiap-tiap banjar berlomba-lomba membuat ogoh-ogoh semenarik mungkin. Penampakan ogoh-ogoh ini sangat menyeramkan, mereka memaknainya sebagai iblis yang nantinya akan dibakar selesai pawai.
Dan menjelang Nyepi tentunya pemandangan yang menarik adalah barisan ogoh-ogoh yang berjajar di setiap banjar dan di pinggir jalan. Saya merasa takjub dengan bentuk ogoh-ogoh ini, ternyata darah seni dan kreatifitas masyarakat Bali mampu menciptakan ogoh-ogoh dengan model aneka rupa, yang tentunya mempunyai daya tarik tersendiri. Uniknya ogoh-ogoh ini diciptakan dengan banyak model, mulai dari anak-anak hingga orang tua seakan telah mahir membuat ogoh-ogoh.
Tepat malam hari sebelum nyepi dilaksanakan pawai ogoh-ogoh yang pesertanya dari tiap-tiap banjar. Jika pengiringnya anak-anak kecil maka bentuk ogoh-ogohnya juga kecil, demikian jika pembawanya orang dewasa, maka bentuk ogoh-ogoh itu sangat besar menyerupai raksasa betulan. Apalagi saat pawai itu ada yang membunyikan lodom, tentunya membuat jantung ini makin berdecak karena kaget.
Ketika berlangsung pawai ogoh-ogoh, layaknya sebuah pawai, sebagian besar jalanan ditutup demi lancarnya pawai itu. Memang suasana sangat ramai. Berbagai atraksi mulai dari yang lucu sampai menyeramkan dapat dijadikan tontotan menarik pada malam menjelang Nyepi.
Sementara itu, di saat jalanan ditutup untuk pawai ogoh-ogoh, rupanya sebagian ibu rumah tangga sibuk memasak di dapur. Mereka tahu, saat Nyepi tiba tentunya tak boleh menyalakan api dan listrik. Untuk itulah sehari sebelum Nyepi mereka menyiapkan makanan untuk keesokan harinya.
Saya kebetulan mengintip dapur ibu-ibu. Rupanya mereka membuat aneka macam masakan Bali. Kalau boleh saya bilang, sebagaimana layaknya umat muslim menjelang lebaran yang sibuk membuat nasi kuning atau opor ayam khas lebaran, mereka juga membuat menu khas Bali. Dan inilah hasil saya icip-icip masakan Bali yang khas dengan bumbu genep dan rempah-rempahnya. Ada ayam betutu, sayur bejeg dan jukut ares. Kata jukut adalah bahasa Bali yang artinya sayur, sedangkan ares adalah debog pisang yang diambil bagian mudanya untuk dijadikan sayur.
Soal rasa, jangan nanya deh, pastinya nendang banget. Meski masakan Bali sangat khas dengan kunyit dan kencurnya, namun membuat lidah ini serasa ingin terus dimanjakan. Pokoknya sangat ketagihan dengan masakan Bali yang sangat nikmat ini.
Dan tibalah saat Nyepi, dimana seluruh aktifitas di luar rumah lumpuh total. Tak ada hilir mudih kendaraan bermotor, tak ada teriakan bocah-bocah kecil, juga tak ada suara bising pabrik-pabrik yang berjejer. Yang ada adalah lalu lalang para "pecalang". Mereka adalah petugas Keamanan Bali yang bertugas mengawasi keadaan sekeliling saat Nyepi. Bila ada warga yang melanggar aturan, misalnya dengan mengendarai motor atau membuat keributan, pecalanglah yang menghukum mereka.
Yah...bagi umat Hindu, Nyepi memang menjadi tradisi mereka untuk berdiam diri di dalam rumah. Namun bagi saya atau anak saya yang notabene sebagai pendatang tentunya terasa asing. Anak saya seolah berontak, merasa tak nyaman dengan keadaan dimana siaran dari stasiun televisi dimatikan dari pusat, nyaris tak ada tontonan. Tapi untungnya listrik tak ikut dipadamkan. Andai dipadamkan, mungkin setiap orang akan mirip seperti pepes yang digulung karena kapanasan.
Dan sudah menjadi tradisi umat Hindu, saat nyepi tiba mereka menyiapkan banten dan canang di rumahnya. Nyepi memang mereka habiskan didalam rumah, ada yang memanfaatkannya untuk bertapa dan sembahyang. Inilah penampakan banten dan canang mereka.
Begitu gelap menjelang, suasana memang benar-benar gelap. Tak ada lampu yang dinyalakan. Sebagai orang yang tinggal di Bali sayapun harus menghormati tradisi umat Hindu dengan ikut mematikan lampu dan berdiam diri di dalam rumah. Aneh rasanya. Dan memang demi menghormati umat Hindu yang tengah merayakan Nyepi, jalan akses menuju bandara dan pelabuhanpun juga ikut ditutup. Pemberlakuan itu berlangsung selama sehari-semalam terhitung mulai pukul 06.00 pagi saat Nyepi sampai pukul 06.00 pagi pada keesokan harinya.
Tentunya pada keesokan harinya aktifitas lalu lintas yang lumpuh, tiba-tiba berubah menjadi kemacetan karena beberapa dari mereka yang ingin menyeberang bahkan rela bermalam di pelabuhan demi mendapatkan antrian awal.
Namun dari pengalaman itu saya jadi tahu mengapa menjelang Nyepi banyak para pendatang yang mudik ke kampung halaman. Itu karena mereka tak terbiasa dengan keadaan Nyepi, dimana tak ada siaran televisi, semua toko tutup, tak ada aktifitas di luar rumah, sehingga mereka merasa tidak leluasa melakukan kegiatan.
Belajar dari Nyepi ada pelajaran berharga yang dapat saya petik disini, yaitu tentang "save our earth". Nyepi yang hanya sehari, dimana semua penduduk Bali hanya berdiam diri di rumah, tanpa kegiatan, tanpa membuat kegaduhan, membuat alam sekitar Bali jadi bebas dari polusi. Udara terasa segar untuk dihirup karena tak ada asap pabrik yang membumbung tinggi di udara, juga tak ada asap kendaraan bermotor yang menyesakkan nafas. Tak ada bisingnya suara kendaraan atau suara alat pabrik yang membuat gendang telinga serasa pecah. Tak ada kertas terbuang percuma dari kantor atau sekolah, karena kegiatan mereka berhenti sejenak. Listrikpun juga sedikit hemat karena lampu tak boleh nyala sementara siaran televisi dimatikan dari pusatnya. Dan sehari itu Bali benar-benar menjadi pulau yang bebas dari polusi.
Andai semua masyarakat di belahan bumi ini sadar lingkungan, dan peduli untuk mengembalikan kelestarian alam yang makin tercemar ini, mungkin tradisi menyepi di Bali dapat dijadikan sebuah solusi untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Pertanyaannya, sanggupkah masing-masing dari kita ikut menyuarakan gerakan santai sejenak dari polusi, dengan menerapkan gerakan seperti saat Nyepi tiba, walaupun itu hanya sehari?
Ini adalah pengalaman pertama saya menghabiskan Nyepi di Bali, setelah sebelumnya libur Nyepi saya gunakan untuk mudik ke Jawa. Bukan tanpa sebab, namun saya ingin mencari tahu mengapa para pendatang itu selalu mudik menjelang Nyepi, bahkan rela berjubel di tempat pembelian tiket masuk pelabuhan penyeberangan.
Nyepi tahun lalu memang saya gunakan untuk pulang kampung bersama anak dan suami mengendarai sepeda motor. Kebetulan suami mendapat ijin cuti, jadi kami pulang sehari sebelum Nyepi . Menjelang Nyepi lalu lintas menuju pelabuhan penyeberangan memang terlihat ramai. Jalanan dipenuhi oleh pemudik yang berasal dari Banyuwangi dan sekitarnya. Sebagian besar dari mereka lebih memilih mengendarai sepeda motor agar cepat sampai tujuan. Namun tak jarang, kecelakaan itu seringkali terjadi, karena kondisi jalan yang tidak rata dan kurang hati-hati berkendara.
Selain di penuhi oleh para pemudik, agaknya umat Hindu yang akan merayakan Nyepi juga melaksanakan tradisi "Melis". Saya kurang begitu paham apa arti sebenarnya, namun menurut pengamatan saya, melis adalah tradisi menyucikan diri sebelum Nyepi tiba. Biasanya mereka melakukan arak-arakan dengan mengenakan pakaian adat dan diiringi oleh suara gamelan Bali menuju ke pantai. Tak jarang keadaan seperti itu membuat jalanan jadi macet, bahkan sebagian jalan terpaksa ditutup, sehingga kendaraan yang harusnya melewati jalan itu terpaksa harus diubah haluannya. Inilah yang kadang menghambat perjalanan.
Belum lagi ritual berebut kapal ferry yang seolah tak pernah berubah, kadang membuat saya malas pulang kampung menjelang Nyepi. Entah mengapa orang lebih suka berebut ketimbang mengikuti aturan dengan tertib berbaris sesuai urutannya, toh mereka pada akhirnya juga dapat bagian tiket dan dapat menyeberang dengan kapal ferry yang ditunjuk. Mungkin asyik kali ya rebutan kapal hehehe......
Kali ini rasa penasaran saya tentang menjelang dan saat Nyepi di Bali, saya gunakan untuk mencari tahu atraksi yang akan dilaksanakan. Dan memang gaung Nyepi terdengar beberapa hari sebelumnya. Seperti saat menjelang lebaran Idul Fitri, dimana banyak suara petasan, di Bali pun juga demikian. Ada yang unik dari tradisi ini. Kalau menjelang lebaran, seringkali kita dengar suara petasan yang banyak di jual di pinggir toko, menjelang Nyepi yang terdengar adalah suara "lodom" atau "lom-loman".
Lom-loman ini tidak dijual bebas melainkan dibuat sendiri oleh anak-anak. Bahannya dari bambu sepanjang kurang lebih 50 cm, bisa juga dari pipa paralon yang agak besar lubangnya, lantas dinyalakan dengan minyak spirtus. Bunyinya pun membuat gendang telinga seolah pecah, sangat keras.
Bukan hanya suara "lodom" atau "lom-loman" yang bersahutan, namun umat Hindu yang terbagi dalam tiap-tiap banjar berlomba-lomba membuat ogoh-ogoh semenarik mungkin. Penampakan ogoh-ogoh ini sangat menyeramkan, mereka memaknainya sebagai iblis yang nantinya akan dibakar selesai pawai.
ogoh-ogoh yang menyeramkan |
Dan menjelang Nyepi tentunya pemandangan yang menarik adalah barisan ogoh-ogoh yang berjajar di setiap banjar dan di pinggir jalan. Saya merasa takjub dengan bentuk ogoh-ogoh ini, ternyata darah seni dan kreatifitas masyarakat Bali mampu menciptakan ogoh-ogoh dengan model aneka rupa, yang tentunya mempunyai daya tarik tersendiri. Uniknya ogoh-ogoh ini diciptakan dengan banyak model, mulai dari anak-anak hingga orang tua seakan telah mahir membuat ogoh-ogoh.
Tepat malam hari sebelum nyepi dilaksanakan pawai ogoh-ogoh yang pesertanya dari tiap-tiap banjar. Jika pengiringnya anak-anak kecil maka bentuk ogoh-ogohnya juga kecil, demikian jika pembawanya orang dewasa, maka bentuk ogoh-ogoh itu sangat besar menyerupai raksasa betulan. Apalagi saat pawai itu ada yang membunyikan lodom, tentunya membuat jantung ini makin berdecak karena kaget.
Ketika berlangsung pawai ogoh-ogoh, layaknya sebuah pawai, sebagian besar jalanan ditutup demi lancarnya pawai itu. Memang suasana sangat ramai. Berbagai atraksi mulai dari yang lucu sampai menyeramkan dapat dijadikan tontotan menarik pada malam menjelang Nyepi.
Sementara itu, di saat jalanan ditutup untuk pawai ogoh-ogoh, rupanya sebagian ibu rumah tangga sibuk memasak di dapur. Mereka tahu, saat Nyepi tiba tentunya tak boleh menyalakan api dan listrik. Untuk itulah sehari sebelum Nyepi mereka menyiapkan makanan untuk keesokan harinya.
Saya kebetulan mengintip dapur ibu-ibu. Rupanya mereka membuat aneka macam masakan Bali. Kalau boleh saya bilang, sebagaimana layaknya umat muslim menjelang lebaran yang sibuk membuat nasi kuning atau opor ayam khas lebaran, mereka juga membuat menu khas Bali. Dan inilah hasil saya icip-icip masakan Bali yang khas dengan bumbu genep dan rempah-rempahnya. Ada ayam betutu, sayur bejeg dan jukut ares. Kata jukut adalah bahasa Bali yang artinya sayur, sedangkan ares adalah debog pisang yang diambil bagian mudanya untuk dijadikan sayur.
Soal rasa, jangan nanya deh, pastinya nendang banget. Meski masakan Bali sangat khas dengan kunyit dan kencurnya, namun membuat lidah ini serasa ingin terus dimanjakan. Pokoknya sangat ketagihan dengan masakan Bali yang sangat nikmat ini.
Dan tibalah saat Nyepi, dimana seluruh aktifitas di luar rumah lumpuh total. Tak ada hilir mudih kendaraan bermotor, tak ada teriakan bocah-bocah kecil, juga tak ada suara bising pabrik-pabrik yang berjejer. Yang ada adalah lalu lalang para "pecalang". Mereka adalah petugas Keamanan Bali yang bertugas mengawasi keadaan sekeliling saat Nyepi. Bila ada warga yang melanggar aturan, misalnya dengan mengendarai motor atau membuat keributan, pecalanglah yang menghukum mereka.
Yah...bagi umat Hindu, Nyepi memang menjadi tradisi mereka untuk berdiam diri di dalam rumah. Namun bagi saya atau anak saya yang notabene sebagai pendatang tentunya terasa asing. Anak saya seolah berontak, merasa tak nyaman dengan keadaan dimana siaran dari stasiun televisi dimatikan dari pusat, nyaris tak ada tontonan. Tapi untungnya listrik tak ikut dipadamkan. Andai dipadamkan, mungkin setiap orang akan mirip seperti pepes yang digulung karena kapanasan.
Dan sudah menjadi tradisi umat Hindu, saat nyepi tiba mereka menyiapkan banten dan canang di rumahnya. Nyepi memang mereka habiskan didalam rumah, ada yang memanfaatkannya untuk bertapa dan sembahyang. Inilah penampakan banten dan canang mereka.
Begitu gelap menjelang, suasana memang benar-benar gelap. Tak ada lampu yang dinyalakan. Sebagai orang yang tinggal di Bali sayapun harus menghormati tradisi umat Hindu dengan ikut mematikan lampu dan berdiam diri di dalam rumah. Aneh rasanya. Dan memang demi menghormati umat Hindu yang tengah merayakan Nyepi, jalan akses menuju bandara dan pelabuhanpun juga ikut ditutup. Pemberlakuan itu berlangsung selama sehari-semalam terhitung mulai pukul 06.00 pagi saat Nyepi sampai pukul 06.00 pagi pada keesokan harinya.
Tentunya pada keesokan harinya aktifitas lalu lintas yang lumpuh, tiba-tiba berubah menjadi kemacetan karena beberapa dari mereka yang ingin menyeberang bahkan rela bermalam di pelabuhan demi mendapatkan antrian awal.
Namun dari pengalaman itu saya jadi tahu mengapa menjelang Nyepi banyak para pendatang yang mudik ke kampung halaman. Itu karena mereka tak terbiasa dengan keadaan Nyepi, dimana tak ada siaran televisi, semua toko tutup, tak ada aktifitas di luar rumah, sehingga mereka merasa tidak leluasa melakukan kegiatan.
Belajar dari Nyepi ada pelajaran berharga yang dapat saya petik disini, yaitu tentang "save our earth". Nyepi yang hanya sehari, dimana semua penduduk Bali hanya berdiam diri di rumah, tanpa kegiatan, tanpa membuat kegaduhan, membuat alam sekitar Bali jadi bebas dari polusi. Udara terasa segar untuk dihirup karena tak ada asap pabrik yang membumbung tinggi di udara, juga tak ada asap kendaraan bermotor yang menyesakkan nafas. Tak ada bisingnya suara kendaraan atau suara alat pabrik yang membuat gendang telinga serasa pecah. Tak ada kertas terbuang percuma dari kantor atau sekolah, karena kegiatan mereka berhenti sejenak. Listrikpun juga sedikit hemat karena lampu tak boleh nyala sementara siaran televisi dimatikan dari pusatnya. Dan sehari itu Bali benar-benar menjadi pulau yang bebas dari polusi.
Andai semua masyarakat di belahan bumi ini sadar lingkungan, dan peduli untuk mengembalikan kelestarian alam yang makin tercemar ini, mungkin tradisi menyepi di Bali dapat dijadikan sebuah solusi untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Pertanyaannya, sanggupkah masing-masing dari kita ikut menyuarakan gerakan santai sejenak dari polusi, dengan menerapkan gerakan seperti saat Nyepi tiba, walaupun itu hanya sehari?
8 Komentar
Aku pengen menyepi ke Bali... hehehe maksudnya liburan dan istirahat di Bali. TFS, Mak Yuni :)
BalasHapusPenasaran juga nih ama suasana nyepi di Bali. Trus Mak Yuni ngapain aja di rumah? Bobok seharian? ;)
BalasHapusSaya pengen kapan-kapan menyaksikan perayaan Nyepi di Bali langsung...
BalasHapusjadi penasaran saya mbk pas nyepi di bali.....
BalasHapussalam kenal^^
Ogoh-ogohnya semakin bervariasi ya Jeng
BalasHapusApik2
Belum pernah menyaksikan acara Nyepi
Salam hangat dari Surabaya
suasananya jadi sepi ya
BalasHapusEksotis sekali suasananya ya Mak ... pengalaman yang mengesankan :)
BalasHapusyang dilakukan umat HINDU pas perayaan nyepi ialah melaksanakan CATUR BRATA PENYEPIAN...
BalasHapus1. tidak menghidupkan api
2.tidak bepergian
3. tidak melakukan pekerjaan
4. tidak berfoya foya.
dengan kata lain ..kami belajar mengendalikan segala keinginan...menenangkan pikiran.... dan intropeksi diri.
Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...