Erupsi gunung kelud mengingatkanku pada peristiwa beberapa tahun silam. Terus terang lahir dan besar di Blitar membuatku menjadi bagian dari sejarah meletusnya gunung berapi ini. Ingatanku seolah terpatri pada sosok almarhum ayah yang kukagumi. Sungguh, ayah adalah tokoh yang kuidolakan sejak dulu kala.
sumber ada disini |
Masih
lekat dalam ingatanku ketika guyuran abu vulkanik itu menyapu jalan-jalan di
kotaku tahun 1990. Belum lagi atap rumahku roboh karena tak kuat menahan banyaknya
abu yang berjatuhan diterpa angin. Bahkan, pohon rambutan di depan rumahku yang
sedang berbuah lebat seketika itu tumbang karena terpaan angin yang begitu
dahsyat. Nyaris semuanya hancur.
Yang
kulihat anak-anak kecil sedang asyiknya memunguti rambutan yang berjatuhan.
Sementara di jalanan teriakan orang seolah tak terelakkan.
“Gunung
kelud meletus…..gunung kelud meletus………”
Mereka
panik, takut bahkan trauma. Namun ayah tetap tenang seolah tak sedang
menghadapi apa-apa. Itulah ayah, yang selalu menyembunyikan egonya setiap
menghadapi musibah. Aku bangga mempunyai seorang ayah seperti beliau.
Tak
banyak yang kenal ayah, karena beliau bukan artis. Ayah hanyalah seorang
pensiunan polisi yang dulunya berprofesi sebagai penjahit dan petani. Pun ayah
juga bukan orang berada. Beliau jauh dari hingar bingar kehidupan kota.
Sedikitpun tak pernah terpikirkan dibenaknya untuk menimbun harta, apalagi
memilikinya seorang diri.
Sikap
dermawan ayah itulah yang sampai saat ini tetap kukagumi. Ayah adalah anak
pertama dari delapan bersaudara. Setelah nenek meninggal, kakekpun menikah lagi
dan mempunyai empat orang anak. Jadilah ayah dua belas bersaudara. Namun beliau
tak pernah membeda-bedakan semua adiknya. Berkat kerja keras ayah, kesebelas
adiknya mendapat bagian tanah yang luasnya sama.
Bukan
hanya itu, setiap melihat sanak saudara yang kesusahan, ayahpun tak segan
menolongnya, bahkan mengangkatnya menjadi bagian dari keluarga besarnya. Dan
tak pernah sedikitpun terpikirkan dalam benak ayah untuk meminta imbalan atas
perbuatannya.
Ayah
bukan saja sosok yang dermawan, namun beliau taat beribadah. Di sepertiga malam
kusaksikan ayah selalu terbangun dan mengambil air wudhu. Dan di atas bale yang
berukuran satu badan itulah ayah selalu menggelar sajadahnya, seraya bermunajad
kepadaNya. Bahkan selepas Shubuh
telingaku selalu menangkap lantunan ayat suci Al-Qur’an dari kamar ayah. Beliau
memang tak pernah membuang waktunya dengan percuma. Selalu ibadah yang ayah
kerjakan, itulah yang beliau tanamkan kepada anak-anaknya.
Tak
jarang ayah menjadi imam di masjid dekat rumahku. Ada rasa bangga saat melihat
ayah berdiri di depan para jamaah untuk memimpin sholat. Beliau memang orang
baik, yang selalu membantu siapapun yang membutuhkannya. Namun sebaik-baik
ayah, masih ada yang berusaha menyakitinya.
Sungguh
ceritaku bukan hayalan semata, tetapi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri
manakala ayah sedang melaksanakan sholat isya’ di atas bale kecil itu. Kala
sujud tiba-tiba sebuah bunyi benda jatuh mengagetkanku. Aku yang duduk di tepi
bale itu mengamati arah datangnya bunyi benda jatuh, namun tak juga kutemukan.
Sementara ayah tetap khusyu’ berdoa, seolah tak terjadi apa-apa. Dan beberapa
menit setelahnya, ayah membuka lipatan sajadahnya. Sebuah paku besar seukuran
jari manis mendarat tepat di balik sajadah.
Astaghfirullah,
subhanallah, aku seolah kaget dengan kejadian itu. Memang benar adanya, Allah
akan melindungi umatNya yang khusyu’ berdoa. Demi melihat sebuah paku itu ayah
hanya menghela nafas, seraya bibirnya mengucap “Alhamdulillah….” karena telah
terbebas dari niat jahat seseorang yang ingin mencelakainya.
Masih
lekat dalam ingatanku kala kecil dulu. Setiap shubuh ayah selalu
membangunkanku.
“Nak,
ayo bangun dulu, sholat shubuh sana. Nanti selesai sholat kalau masih ngantuk,
kamu bisa tidur lagi. Yang penting sholat shubuh dulu jangan sampai
ketinggalan!”
“Baik
Ayah”, aku hanya bisa menuruti nasehat ayah.
Dan…selalu
kalimat itu yang terngiang-ngiang dalam telingaku. Tak pernah ayah kasar
kepadaku dengan menyiram air atau membentakku. Sebaliknya, sembari
membangunkanku ayah selalu membelai pipiku atau mengusap dahiku.
Selesai
sholat shubuh bukan lantas ayah mengijinkanku kembali menikmati kasur empukku,
namun beliau mengajakku bersepeda mengelilingi desa-desa di pinggiran sawah.
Memang pada awalnya perkataan ayah seolah mengijinkanku untuk kembali tidur,
namun itu hanyalah tipuan agar aku segera bangun. Senyatanya beliau tak suka
melihat anak yang tidur di pagi hari.
“Tidak
baik tidur di pagi hari, nanti rejekimu sempit, penyakit juga senang
menghampiri. Lebih baik pagi-pagi begini kita gunakan untuk olahraga, supaya
tubuh sehat, semangat kian menyala.”
Duh
ayah…mengenang sosok beliau, buliran bening itu tiba-tiba jatuh membasahi
pipiku. Setiap kalimat yang keluar dari bibir ayah seolah menyiratkan sebuah
semangat bahwa hidup itu harus selalu diperjuangkan.
Ayah
memang sosok yang cerdas. Beliau ingin anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang
kaya iman dan kaya ilmu. Namun ayah tak begitu saja mengijinkanku mengikuti
kursus di luar rumah. Melainkan beliau selalu mengupayakan keberhasilanku. Di
rumah kami yang kini telah usang dimakan jaman itulah tertoreh kisah indah
tentang kerja keras ayah mendidikku.
Ketika
aku tak pandai mengaji, dengan telatennya ayah membimbingku hingga aku mahir
membaca Al-Qur’an. Bahkan beliau sering memanggil teman-temanku untuk belajar
mengaji bersama. Bahagia kala itu melihat rumahku yang ramai dipenuhi anak-anak
yang melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Bukan hanya belajar mengaji, namun ayah
mengajak aku dan teman-temanku sholat berjamaah di ruangan yang luas. Ya…ruang
TV itulah saksi bisu kebersamaan kami.
Selepas
belajar mengaji, ayah masih sempat mengajariku berbagai mata pelajaran yang
diajarkan di sekolahku. Bak seorang
guru, beliau menerangkan dengan jelas dan mudah kumengerti. Itulah yang membuat
rumahku makin ramai dipenuhi teman-temanku yang ingin belajar mengaji dan
menyelesaikan PRnya dari sekolah.
Ayah
selalu ikhlas berbuat. Dengan ibupun, beliau juga tak segan membantu. Aku
merasa bangga manakala kulihat ayah dengan lihainya membantu ibu membuat kue
lemper saat menjelang acara Maulid Nabi di masjid sebelah rumahku. Atau ayah
yang membuat pagar rumah dan kursi taman sendiri, atau bahkan membuat anyaman
bambu untuk mengganti atap rumahku yang sebagian berlubang karena di makan
tikus. Semuanya membuatku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Satu
yang kuingat tentang petuah ayah, “kamu harus menjadi perempuan yang kuat.
Untuk menjadi perempuan kuat dan hebat, kunci utamanya adalah rajin beribadah. Jangan
pernah sekali-kali meninggalkan sholat, karena sholat itu akan membuat jiwamu
tentram. Allah pun akan membantu kesulitanmu. Sempatkan membaca Al-Qur’an meski
hanya lima menit, agar Gusti Allah menyayangimu. Dan ingat, jangan hanya
pasrah, atau menjadi wanita lemah, yang tak mempunyai sesuatu yang bisa dibanggakan.
Gali terus potensi dirimu, dan tunjukkan kalau kamu mampu. Ingat jangan pacaran
dulu sebelum kamu sukses!”
Ya…sebait
kalimat diatas yang kini masih tersimpan rapi di relung sanubariku, yang
menjadi penyemangatku manakala aku down. Ayah selalu ada untukku, bahkan dalam
keadaan sedih sekalipun.
Kini,
ayah telah lama tiada. Berita tentang erupsi gunung kelud itu yang sontak
mengingatkanku tentang kenangan bersama ayah. Ayah selalu mengajariku kasih
sayang. Beliau selalu membimbingku menjadi pribadi yang sederhana, bersahaja
dan suka membantu.
Bukan
harta yang ayah cari di dunia ini, senyatanya kerja keras ayah bukan untuk menumpuk
harta kekayaan, melainkan untuk saudara-saudaranya yang membutuhkan. Tanah yang
terbentang luas, sawah yang dipenuhi padi dan tanaman palawija atau bangunan
yang berdiri tegak, kini telah berpindah tangan seiring kepergian ayah. Namun
ayah bahagia, karena beliau berhasil membuat orang lain juga bahagia.
Sementara
aku, hanya bisa mengenang ayah. Rumah tua peninggalan ayah kini telah
dihibahkan kepadaku. Nyaris bangunannya terserak satu persatu dimakan usia.
Bahkan ia seolah tenggelam diantara dinding-dinding kokoh yang menjulang
tinggi. Namun aku tak gentar. Ada cerita indah terukir didalamnya. Ada kenangan
manis antara ayah, ibu, aku dan adikku yang tak mungkin terhapus. Pun juga abu
vulkanik yang datang secara tiba-tiba mengguyur atap rumahku di malam hari. Ia
tak bisa menyapu bersih ingatanku tentang ayah. Siapapun tak boleh menghapus
kenangan itu, karena ia telah terpatri dalam relung sanubariku yang paling
dalam.
Dan
bingkai foto yang terjajar rapi di dinding rumahku, menyiratkan sebuah senyuman
terindah milik ayah. Ayah yang penuh semangat menjalani hari-harinya, ayah yang
selalu membantu setiap orang yang membutuhkan atau ayah yang menebar kasih
sayang kepada semua orang, seolah nama baik beliau telah terbingkai rapi
bersama foto manis itu.
Aku
hanya bisa termangu sambil sesekali merenda ingatanku tentang ayah. Dalam
anganku aku ingin menghidupkan kembali rumah peninggalan ayah bersama lantunan
ayat suci Al-Qur’an sehabis shubuh, sama seperti yang ayah lakukan kala dulu.
Pun aku juga ingin menyapa Allah di sepertiga malam melalui untaian doa-doa
khusyu’ yang kupanjatkan, sama seperti yang ayah lakukan kala dulu.
Bukan
aku latah, yang hanya bisa meniru, namun senyatanya semua itu adalah kewajiban
bagi semua umat muslim di manapun berada. Jauh di dasar hatiku, aku ingin
berubah menjadi pribadi yang kaya iman. Jujur, selama ini aku masih jauh dari
sempurna, aku masih miskin iman dan bodoh ilmu. Dan aku ingin mewujudkan
keinginan ayah untuk menjadi perempuan yang hebat dan kuat.
Sejenak
kumengenang ayah, anganku membuncah mengingat peristiwa silam. Dan erupsi
gunung kelud tiba-tiba menggugah adrenalinku untuk kembali mengenang Allah.
Bahwa senyatanya setiap musibah yang datang hanyalah kuasa Ilahi. Kita tak
boleh berburuk sangka apalagi ingkar pada kehendak-Nya. Dan kenangan tentang
ayah disaat gunung kelud memuntahkan isinya, seolah mengingatkanku untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah.
Ya
Allah jadikanlah setiap musibah yang datang sebagai peringatan kepada kami
untuk meninggalkan segala perbuatan yang Kau murkai, sehingga kami benar-benar
meyakini bahwa musibah ini hanya Engkaulah yang menghendaki. Serta jadikanlah
kami umatMu yang senantiasa taat beribadah, yang selalu sabar, tabah dan ikhlas
setiap menghadapi musibah yang Kau berikan kepada kami. Sesungguhnya Engkau
tidak pernah memberikan cobaan di luar batas kemampuan kami. Jadikanlah iman
Islam kami sebagai benteng untuk tetap mengingatMu Ya Rabb……amien.
6 Komentar
Salut untuk ayahnya, moga mendapat tempat terbaik di sana, Aamiin
BalasHapusterima kasih mbak...amin yaa rabbal alamin
Hapusselalu mengajarkan hal yang baik ya. Ikut mendoakan untuk ayahnya mbak
BalasHapusmak..maukah terima liebster award dariku? http://supertayo.blogspot.com/2014/05/liebster-award-dariku-untukmu.html
BalasHapusAyahnya menginspirasi, Mba. Asyik ya bersepedaan bareng Ayah.
BalasHapusTurut mendoakan Ayah, Mba.
Terharu saya bacanya, Mbak.
BalasHapusSaya ikut mendo'akan beliau
Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...