Sudah sejam kunikmati semilir angin dari sawah depan
rumahku. Rasanya aku enggan beranjak dari tempat dudukku. Kubiarkan tubuhku
diterpa hembusan angin yang membuatku mengenang sebuah masa. Yah…aku ingin
memungut serpihan kenangan yang tersisa.
Tiba-tiba ingatanku tertuju pada sesuatu yang sudah lama
terkubur dalam rutinitasku. Aku membayangkan bunyi peluit panjang yang sering
kudengar lima belas tahun silam. Tanda berangkatnya kereta api ekonomi tujuan
Malang.
Bahkan bangunan itu rasanya masih lekat dalam memori
ingatanku. Sebuah bangunan yang kini telah berubah menjadi bagus, dimana banyak
orang mengantri untuk mendapatkan tiket. Setelahnya mereka akan memasuki ruang
tunggu dan bersiap menanti kedatangan kereta api tujuannya.
Yah…lima belas tahun silam aku sering mendatangi bangunan
itu, mengikuti ritual antri panjang demi mendapatkan sebuah tiket kereta api
tujuan Malang, tempatku melanjutkan kuliah. Bersama teman-temanku, aku sering
berlarian mencari bangku yang kosong demi mendapatkan tempat duduk. Namun tetap
saja tak ada bangku untukku meski hanya separo. Kereta api ekonomi jurusan
Malang memang banyak diminati para mahasiswa karena harga tiket yang murah.
sumber ada disini |
Stasiun Blitar telah menorehkan banyak cerita. Manis dan
sedih semua berbaur menjadi satu, membuat raut wajahku berubah seketika bila
mengingatnya. Aku masih ingat keikhlasan ibu yang rela mengantarku ke stasiun selepas
Shubuh. Jarak yang lumayan jauh dari rumah terpaksa kami tempuh dengan jalan
kaki karena kami tak mempunyai kendaraan untuk ditumpangi. Bahkan sesekali kami
harus berlarian karena dikejar orang gila yang menginap di gerbong kereta yang
rusak.
Atau….aku kembali mengingat pertarungan cinta yang sering
menyerangku di stasiun Blitar. Aku sering menyusuri panjangnya rel kereta api bersama
para sahabat lelakiku, dan ternyata ujung-ujungnya dia naksir berat padaku. Aku bahkan sering dikejar lelaki yang ternyata
usianya jauh dibawahku. Yah…bagiku cinta bukan hanya urusan suka sama suka. Tetapi
cinta menyangkut masa depan.
Namun….tetap saja cintaku berawal dan berakhir di stasiun
Blitar. Aku pernah bahagia menikmati sepanjang perjalananku bersama lelaki
pujaanku. Bahkan aku juga pernah nelangsa manakala sorot mataku tanpa sengaja
melihat “dia” telah menggandeng perempuan lain. Aku tak tahu, bahkan sampai
sekarangpun rasa penasaran itu masih menghantui pikiranku. Salah apa diriku?
Sudah cukup pengorbananku untuknya. Bahkan demi dia, aku
rela menungguinya di stasiun itu gara-gara kereta api yang akan ditumpanginya
macet di sebuah tempat. Namun tetap saja janji itu bagai kapas yang terbang
seketika di tiup angin kencang. Dan sekali lagi urusan jodoh hanya Allah-lah
yang tahu.
Hmmm…..stasiun Blitar memang penuh kenangan. Aku jadi
mengenang semua perjalananku. Bukan hanya perjalanan cintaku, senyatanya
perjalanan karierku juga berawal dari sini. Selesai kuliah akupun masih sering
nongkrong di tempat itu dan kembali mengantri kereta api yang mengantarku ke
tempat kerja.
Hidup itu ibarat rel kereta api panjang yang bermuara pada
sebuah titik. Kita akan terus berjalan mengejar asa demi sebuah tujuan. Dan ketika kunikmati
sepanjang perjalanan dengan kereta api, banyak pemandangan yang membuatku
belajar tentang arti kehidupan.
Seorang pengamen buta yang mengerahkan segenap kemampuannya
demi recehan. Atau seorang pedagang asongan yang berteriak menjajakan
dagangannya demi menghidupi keluarganya. Bahkan, ada juga pengemis cacat yang
meminta sedekah. Semua membuatku trenyuh. Rasanya aku malu pada mereka. Mereka
dengan segala keterbatasannya masih mampu berusaha mengupayakan hidupnya, meski
dengan cara seadanya. Harusnya aku bisa bersemangat seperti mereka.
Sejak menikah dan tinggal di berpindah-pindah dari satu
pulau ke pulau lain, aku jadi tak pernah mengunjungi stasiun Blitar. Namun aku
sering menceritakan perjalananku kepada anak lelakiku. Bahagia rasanya bisa
mengajaknya menyusuri panjangnya rel dengan sebuah kereta api ekonomi tujuan
Malang tiga tahun silam. Tujuanku hanya satu, ingin kembali mengenang kisah
perjalananku.
Yah…walau kini bangunan itu lebih kokoh dari sebelumnya,
namun didalamnya masih tetap seperti dulu, seperti saat aku masih sering
mondar-mandir di tempat itu. Saat aku selalu bercengkerama dengan teman
kuliahku sembari menunggu kereta api dari Tulungagung datang. Atau bahkan saat
dimana aku harus mempercepat langkahku menerobos kerumunan orang demi bisa
masuk ke sebuah gerbong, meski gerbong itu tak menyisakan bangku kosong.
Aku membayangkan dimana saja aku pernah berdiri sambil
menunggu kereta datang. Rasanya peristiwa silam itu tiba-tiba kembali menari
indah di pelupuk mataku manakala menyaksikan segerombolan mahasiswa muda yang
tengah menunggu datangnya kereta api. Yah…dulu, lima belas tahun silam aku
pernah muda seperti mereka. Bahkan tingkah polah mereka seakan membawaku ke
sebuah lamunan, bahwa aku tengah berdiri diantara mereka, bercengkerama dan
tertawa lepas menghapus kepenatanku.
Kembali aku tersadar. Tiga tahun silam ketika kakiku
menjejak bangunan itu, aku bukan lagi seorang gadis yang tengah mengejar mimpi
dan cinta. Melainkan aku sudah menjadi seorang istri sekaligus sebagai ibu dari
anak lelakiku, yang tengah menggenggam erat jemariku. Dan mereka, yang sedang
berderet menunggu kereta tiba bukan lagi teman-temanku yang dulu. Aku tak
mengenal mereka, bahkan aku merasa berada dalam keterasingan.
anakku menikmati perjalanan dengan kereta api |
tiga tahun silam anakku nyaman bepergian dengan kereta api |
Kelak, bila libur tiba aku akan kembali mengajak anak
lelakiku ke stasiun Blitar. Bahkan andai suamiku mendapat ijin cuti, aku ingin
menyusuri sepanjang rel kereta api itu demi merajut kenangan yang telah lama
terkubur. Meski harus berebut tiket yang tergolong murah, atau harus menunggu
lamanya kereta yang tak kunjung datang, atau bahkan harus mengumpulkan segenap
kesabaran karena jalannya kereta sangat lambat, atau harus rela berjubel dengan
ratusan orang dengan segala aroma yang berbeda, atau harus menutup hidung
rapat-rapat manakala melewati sebuah terowongan yang pengap dan gelap.
Yah….semua itu telah membuatku belajar tentang kesabaran dan
keikhlasan. Bagaimanapun juga stasiun Blitar tetap tersimpan di hati dengan
segala kenangan yang pernah kurajut tempo dulu.
Tulisan ini diikutsertakan dalam “A Place to Remember Giveaway”
9 Komentar
wah.. anaknya kenapa ? kok tidur disitu ?
BalasHapusditunggu komentar balik ya ?
http://musikanegri.blogspot.com/2014/05/sosok-walisongo-teladan-sukses-berdakwah.html
saya pernah menginap semalam di Blitar. Jadi pengen ke sana lagi. Soalnya blm sampe menikmati kotanya :)
BalasHapusTempat penghubung ilmu ya mak
BalasHapusSama-sama bocah Blitar juga rupanya :D
BalasHapusStasiun Hati ini namanya, Mba. Jatuh hati dan patah hati telah dilakukan di stasiun ini. :D
BalasHapusmampir di stasiun ini baru sekali waktu kelas 5 SD
BalasHapusBlitar kota yang sudah tenar, tapi kenapa sy belum pernah ke sana ya, secara jarak juga ga terlalu jauh dari rumah :)
BalasHapusudah lamaa gak naik kereta api.. :D
BalasHapusjadi kangen
Aku baru sekali ke Blitar, Mba Yuni, itupun hanya mampir pas wisata ke Bali jaman masih SMA dulu :)
BalasHapusTerima kasih telah berpartisipasi pada GA ini, good luck.
Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...