Siapa yang tak kenal Indonesia? Dunia luar mengenal Indonesia sebagai salah
satu negara terluas di dunia, dengan luas 5.193.250 km2 yang mencakup daratan
dan lautan. Bahkan ia termasuk negara
terluas ke-7 setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brasil dan
Australia. Bila dibandingkan dengan luas
negara-negara di Asia, Indonesia menduduki peringkat ke-2, bahkan menjadi
negara terluas di Asia Tenggara.
sumber disini |
Selain itu, Indonesia juga disebut dengan Negara kepulauan,
dengan 17.508 pulau yang mendiami wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Inilah yang menyebabkan Indonesia mempunyai keanekaragaman flora dan fauna
serta berbagai sumber daya alam, yang otomatis menjadi daya tarik tersendiri
bagi para wisatawan (baik domestik maupun mancanegara) untuk berkeliling menjelajah seluruh wilayah
Indonesia.
Tak hanya itu, Indonesia yang lebih dikenal dengan sebutan Nusantara
juga merupakan Negara besar. Dari hasil
sensus yang dilakukan BPS pada bulan Agustus 2010 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Indonesia sebesar 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580
laki-laki dan 118.048.783 perempuan, dan menyebar di 34 propinsi, dengan
persentase terbesar mendiami pulau Jawa, sebesar 57,49%.
Namun demikian, dibalik keindahan alam Indonesia, berbagai
permasalahan seringkali timbul. Otonomi daerah yang diharapkan pemerintah pusat
dapat membantu memantau perkembangan dan permasalahan daerahnya, agaknya belum
sepenuhnya berhasil. Pertikaian antar suku, keinginan sebagian pulau lepas dari
Indonesia atau bahkan permasalahan perbatasan dengan Negara tetangga, acapkali
menimbulkan polemik yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Lantas, apakah aku benci menjadi warga Negara Indonesia?
Tentunya tidak. Aku bersyukur mempunyai
seorang ayah yang pernah berjuang melawan penjajah. Meski beliau kini telah
tiada, hanya pusara tertancap bambu runcing yang kerapkali kukunjungi atau
lewat sebuah foto dinding yang bisa kupandangi, namun cerita ayah seolah
menjadi memori yang tersimpan indah di relung sanubariku.
Cerita ayah tentang sebuah perjuangan memperebutkan
Indonesia kala dulu, benar-benar membuatku sangat mencintai Indonesia. Betapa
para pejuang dulu dengan titik darah penghabisan, mempertaruhkan jiwa dan raga,
demi kembalinya Indonesia kepangkuan NKRI. Dan itulah arti pengorbanan yang
sesungguhnya.
Sebagai generasi muda, yang hidup di era kemerdekaan
tentunya tak boleh diam dan hanya semaunya tinggal di Indonesia. Cinta saja
tanpa bertindak itu hanya omong kosong. Kalau kita merasa mencintai Indonesia,
tentunya harus berbuat sesuatu agar Indonesia tetap menjadi negara yang aman, tertib,
damai dan dikagumi negara-negara di dunia. Lalu darimana kita mulai bertindak? Sudah
barang tentu dimulai dari diri sendiri.
Mungkin aku termasuk salah seorang yang beruntung. Lahir dan
besar di Blitar, yang notabene sejarah telah mencatat Blitar sebagai kota
Proklamator. Selain napak tilas peninggalan Bung Karno, ada juga tugu monumen
Peta Supriadi yang menjadi tonggak sejarah pemberontakan PETA di Blitar. Selain
itu masih ada monument Trisula, candi Penataran dan candi-candi kecil lainnya
yang menorehkan cerita sejarah masing-masing. Berbagai fakta yang ada di kota
kelahiranku, membuatku semakin cinta menjadi warga negara Indonesia.
Apalagi setelah menikah, meski suamiku juga asli Blitar, aku
bisa hijrah keluar pulau mengikuti tugasnya. Delapan tahun menetap di Jayapura,
Papua, seolah memberiku pengalaman berharga tentang kehidupan di pulau ujung
timur Indonesia. Banyak kejadian yang sampai sekarang masih membekas dalam
ingatan. Mulai dari berinteraksi dengan warga sekitar, sampai dengan menghadapi
pertikaian warga yang sempat membuatku ketakutan, panik bahkan menangis.
Senyatanya Papua adalah pulau yang indah. Hanya saja
kurangnya pendekatan antara pemerintah daerah dengan warga terbelakang,
menyebabkan mereka mudah sekali diadu domba. Andai saja banyak relawan yang
sudi membantu saudara-saudara kita disana, mungkin pertikaian itu semakin dapat
ditekan. Namun mereka seolah takut menjamah pulau itu. Situasi tidak selamanya
bisa dianggap kondusif. Dalam keadaan yang tidak bisa dipastikan, seringkali
terjadi serangan mendadak yang mengakibatkan jatuh korban.
Mungkin hal ini menjadi sebuah permasalahan, bukan hanya
bagi pemerintah daerah setempat, namun juga pemerintah pusat, agar segera
dicari jalan keluarnya. Sehingga tidak ada lagi rasa takut bagi warga pendatang
untuk tinggal dan menetap di Papua. Sebenarnya penduduk asli Papua sangat
ramah. Aku seringkali berinteraksi dengan mereka, dan mereka sangat menghormati
warga pendatang.
Aku merasa bangga ketika bisa tampil menarikan Tari Anire,
semacam tari panen khas Abepura. Atau bahkan bisa bergabung untuk menarikan
Tari pergaulan Yosim Pancar. Di lain waktu aku juga bisa mencicipi “papeda”
makanan khas Papua. Bahkan berkat resep dari mama-mama Papua, akhirnya aku bisa
membuat “papeda” sendiri.
Bukan hanya itu. Hal yang membuatku makin takjub dengan
Papua, ketika bulan Juni tiba, saat digelarnya “Festival Danau Sentani”. Semua
suku yang mendiami Papua saling unjuk diri untuk menampilkan keseniannya diatas
sebuah kapal yang telah dibentuk menjadi panggung. Melihat pertunjukan itu
rasanya aku makin yakin bahwa Indonesia memang kaya dengan budayanya yang
beranekaragam.
Dilain waktu aku bisa mengunjungi pantai Hamadi, pantai holt
the camp, atau pantai base G. Bahkan, aku pernah menginjakkan kaki di
perbatasan PNG (Papua New Guine), merupakan kebanggaan tersendiri bagiku. Tak
hanya itu, aku bisa berinteraksi dengan warga sekitar perbatasan yang
menggunakan bahasa Inggris Fuji, rasanya menjadi sebuah kesempatan berharga
yang tak mungkin kulupa.
Yah…kini Papua memang tinggal kenangan. Hanya air mata yang
menetes ketika kudengarkan lagu “Tanah Papua” atau “Irian Jaya Bunga Bangsa”
dari mini home teaterku. Kecintaanku pada Papua, membuatku berangan, suatu saat
aku ingin kembali menginjakkan kaki disana, walau sekedar mengenang kota
kelahiran anakku, atau napak tilas perjalanan hidupku disana.
Dari Papua, aku melanjutkan perjalanan ke Denpasar, Bali.
Tentunya dua pulau ini sangat berbeda. Mayoritas warga Papua beragama Nasrani,
sehingga tak heran bila menjelang Natal, banyak lagu-lagu rohani diperdengarkan
di bukit-bukit. Sangat berbeda dengan warga Bali yang mayoritas beragama Hindu.
Dimana-mana berdiri pura. Di gang-gang, di tempat-tempat umum, tersebar canang
dengan aneka wangi dupa.
mengisi Canang |
Pengalaman baru kudapatkan di Bali. Selain sebagai kota
wisata yang mendunia, Bali juga kental dengan adat istiadat dan keagamaannya.
Seringkali perjalananku terhambat demi menghormati sebuah pawai. Dan pawai ini
bukan pawai biasa, melainkan pawai adat, dimana umat Hindu memakai pakaian adat
lengkap dengan suara gamelan yang ditabuh anak-anak muda.
pawai ogoh-ogoh |
Bahkan ketika ada Ngaben, terpaksa aku harus berhenti. Kalau
dulu, ketika masih bersekolah, yang kutahu bahwa upacara pembakaran mayat di
Bali itu namanya “ngaben”. Kini aku bisa melihatnya langsung. Sungguh takjub
melihat atraksi-atraksi yang sering diadakan warga Bali.
sumber disini |
Ketika bulan Purnama, mereka ramai berbondong-bondong ke
Pura. Demikian juga dengan hari-hari lain yang mereka anggap wajib
bersembahyang. Aku pernah merasakan bau mistik ketika seorang teman yang asli
Bali menyebutnya “Kajeng Kliwon”. Entah mengapa saat itu suasana begitu sepi
mencekam, tak ada yang berani keluar rumah. Hanya Pura yang ramai oleh umat
Hindu sedang sembahyang.
sumber disini |
Ada rasa bangga dalam diriku ketika diterima baik oleh
teman-temanku asli Bali. Mereka tidak menganggapku musuh, bahkan malah seperti
saudara. Di lain waktu aku bisa sharing tentang adat dan agama mereka. Hingga
aku jadi tahu kalau umat Hindu sembahyang 3 kali. Aku juga tahu tentang ngaben.
Bahkan aku mendapat kesempatan untuk membantu mengisi canang atau banten untuk
sembahyang mereka. (canang berupa aneka bunga, sedang banten berupa aneka buah
ditambah makanan kecil).
sumber disini |
Yah…sekali lagi aku bangga menjadi bagian dari bangsa
Indonesia. Saat ini Indonesia secara yuridis konstitusional memang telah
merdeka dari penjajah. Namun sebenarnya negara kita belumlah merdeka. Masih
banyak warga Indonesia yang tidak sepenuhnya cinta tanah air. Mereka hanya
pandai berucap, namun untuk bertindak masih jauh dari kecintaannya pada
Indonesia.
Mari sejenak kita kembali mengingat beberapa kejadian yang
sering melanda bumi kita tercinta. Bencana banjir yang tiap tahun melanda
ibukota dan sekitarnya, bencana tanah longsor, kebakaran hutan, kabut asap atau
bahkan kecelakaan lalu lintas yang menelan banyak korban. Apakah hal ini
merupakan peristiwa alam yang terjadi dengan sendirinya?
Tentunya manusialah yang menjadi dalang dari rentetan
peristiwa itu. Tak perlu menuduh orang lain sebagai pelakunya. Bisa jadi aku,
Anda dan semua warga Indonesia yang tidak benar-benar cinta Indonesia,
mempunyai andil besar dalam musibah ini.
Masih banyak dari kita yang tak merasa memiliki Indonesia.
Mereka hanya mau bercokol dan masa bodoh, tak mau berperan serta menciptakan
kebaikan. Sampah berserakan di
pinggir-pinggir jalan utama, kadang menimbulkan bau menyengat. Sungai yang
telah tercemar oleh limbah pabrik dan sampah, sehingga ekosistem didalamnya
punah. Selokan yang tersumbat kerapkali menjadi sarang nyamuk dan penyakit.
Para pengguna jalan raya yang tak mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Seperti tak
memakai helm, menerjang lampu merah, berboncengan melebihi muatan, tak
mempunyai SIM ketika berkendara, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya itu. Asap-asap pabrik dan asap kendaraan
bermotor kerapkali menimbulkan polusi. Bahkan, fasilitas umum yang didirikan
pemerintah rupanya tak dirawat dengan baik. Dinding-dindingnya dicoret dengan
tulisan yang tidak senonoh. Kabel-kabel diputus, besi-besi diambil atau bahkan
kebersihannya tidak dijaga dengan baik. Apalagi perburuan liar seringkali dilakukan untuk
kepentingan manusia, tanpa memperhitungkan tingkat kepunahannya.
Sementara itu korupsi terjadi dimana-mana. Penegakan hukum juga belum bisa berjalan dengan baik. Pengangguran merajalela, yang mengakibatkan banyak pencurian, perampokan, pembunuhan, bahkan pedagang nakal yang mencampur bahan makanan dengan zat berbahaya juga makin marak. Kemiskinan masih nampak dimana-mana. Dan pendidikan belum sepenuhnya merata.
Yah…semua itu menunjukkan bahwa masih banyak warga Indonesia
yang tidak sepenuhnya cinta tanah air. Seperti yang telah kuuraikan diatas,
mencintai Indonesia bukan sekedar manis diucap, namun perlu tindakan nyata
untuk mewujudkannya. Kalau tidak dari diri sendiri yang memulainya, lantas bagaimana
nasib Indonesia mendatang?
Sebagai blogger aku ingin membuktikan wujud kecintaanku
melalui tulisan. Dan lewat tulisan ini, aku juga ingin mengajak semua warga Indonesia
untuk saling menjaga negara kita menjadi negara yang aman, tenteram, damai,
tidak ada pertikaian, serta mewujudkan semboyan Bhineka Tunggal Ika, agar
Indonesia tetap terkenal di mata dunia.
Hal utama yang harus kita tanamkan dalam diri masing-masing,
adalah kesadaran memiliki Indonesia sebagai tanah kelahiran dan perlunya
menanamkan disiplin dalam setiap tindakan. Bila kedua sikap tersebut telah
terpatri dalam setiap warga Indonesia, niscaya berbagai musibah, peristiwa atau
kejadian yang kerapkali melanda bumi kita tercinta, lambat laun akan teratasi
dengan baik. Bahkan masyarakat akan tertib dalam berbagai hal, tertib lalu
lintas, tertib membuang sampah, menjaga fasilitas umum dan memelihara sumber
daya alam Indonesia.
Mempertahankan Indonesia sebagai negara yang gemah ripah loh
jinawi dan membuatnya tetap menyandang status sebagai “zamrut katulistiwa”
adalah tugas setiap warga negaranya. Jangan sampai menunggu terlalu lama. Saat
ini mari kita bertindak, buktikan bahwa kecintaan kita pada Indonesia bukan
sekedar pemanis bibir saja.
15 Komentar
Blitar ya. Wah saya sering mendengar nama kota Ini dari berbagai referensi di Internet, dan beberapa kali ditayangkan di televisi, Namun belum pernah ada kesampaian untuk mengunjungi kota Blitar. Kapan ya bisa ke sana, Salam dari Pontianak
BalasHapusBlitar kota yang sepi tapi nyaman...kalau menurut saya. Saya bangga menjadi warga Blitar, ada rasa rindu yang mendalam bila saya lama meninggalkan kota kelahiran saya.....terima kasih.
Hapusuntuk mengekplorasi indoneisa yang luas banyak cara dilakukan ya.
BalasHapusya mbak Lidya....cinta pada Indonesia memang tak hanya diucap saja namun perlu tindakan nyata untuk membuktikan cinta kita pada Indonesia
HapusPengeeeennn bangeeettt liat frstival danau sentani mbak :(
BalasHapus*jadi salah fokus
Sekali-sekali travelling ke Papua Jeng Muna. Setiap bulan Juni pasti ada festival Danau Sentani, seru deh pokoknya
HapusSeneng banget membaca tulisan mbak Yuni yang begitu dalam dan kaya khasanah Indonesia. Setidaknya bikin pengetahuanku bertambah soal budaya. Sukses untuk kontesnya ya mbak :)
BalasHapusTerima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan :Aku Dan Indonesia di BlogCamp
BalasHapusDicatat sebagai peserta
Salam hangat dari Surabaya
Wahhhj... baru kali ini alu liat foto ogoh ogoh... tulisanmu lengkap banget mbak. Senang membacanya
BalasHapusMantab bu..
BalasHapussukses GA nya mbak Yuni
BalasHapusUdah banyak pengalamam ya, Mba.
BalasHapusJdi pingin ke Papua. . .
Blitar yah, Mbak, wah saya pernah ke Candi Penatarannya, dua kali.
BalasHapusTinggal di Jayapura berkesan sekali yah, saya belum pernah ke sana.
Sukses untuk GAnya :)
Mak Yuni, asik deh udah kemana2. Indonesia memang membanggakan :)
BalasHapussetuju mbak, kita harus bisa menunjukkan bukti cinta kita kepada negara ini. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan melakukan kampanye damai menjelang pemilu pilpres serta menggunakan hak suara di hari pencoblosan. kan momennya pas, ini tahun pemilu hehe
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...