Kami dipertemukan dalam sebuah perjodohan. Entahlah, mengapa
kami saling diam dan menerima keputusan itu? Yang pasti kami sama-sama ingin
membahagiakan orang tua. Bukan berarti, mencontoh kisah “Datuk Maringgih – Siti
Nurbaya”, seperti yang dikatakan para tetangga terhadap hubungan kami. Bukan
pula karena kami tidak bisa mencari pasangan sendiri.
Jodoh memang rahasia Illahi, bertemunya pun dengan cara yang
tak disangka. Sementara perjodohan saya dengan lelaki itu, saya anggap sebagai
takdir. Dan saya harus menerimanya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, apa yang
saya alami harus saya terima dengan ikhlas. Urusan cinta dan saling menerima
perbedaan tentunya akan berjalan seiring berjalannya waktu. Sulit memang.
Apalagi bersanding dengan lelaki yang baru saya kenal.
Barangkali inilah nasib saya, harus menyelami segala tabiat
dan perangai lelaki yang sah menjadi suami saya. Saya harus menanggalkan ego
demi menjadi wanita yang manis dihadapannya. Namun apa balasannya. Bayangan
tentang keromantisannya seakan menguap. Dia bukanlah tipe lelaki romantis yang
setiap saat mau menggandeng tangan istrinya. Hati saya menjerit, manakala ia
mendahului saya ketika menyeberang di keramaian. Bahkan, saat berpapasan dengan
temannya pun ia buru-buru menjauhi saya. Entah apa yang aneh dengan diri saya.
Apakah saya tidak pantas bersanding dengannya?
Apalagi saat saya utarakan sebuah keinginan, selalu saja
berujung kekecewaan. Padahal sekalipun tak pernah minta yang berlebihan. Hanya
ingin digandeng, hanya ingin dibelikan sesuatu saat ulang tahun. Namun dia
selalu menolaknya, dengan alasan tidak terbiasa. Bahkan kalimat “sayang” pun
tak pernah terdengar dari bibirnya. Saya merasa menjadi wanita yang paling
tersiksa di dunia ini.
Namun....entah malaikat apa yang merasuki tubuhnya. Di usia
perkawinan kami yang menapaki tangga ke tigabelas tahun, hatinya telah meleleh.
Ucapan “sayang” pun tiba-tiba terdengar dari suaranya saat ia jauh dari saya.
Bahkan, ia mulai merasa kehilangan ketika saya tidak bedara didekatnya.
Duh.....sungguh terharu melihat kenyataan ini.
Saya tak bisa membayangkan lelaki yang dulunya berhati
sedingin es, kini berubah romantis. Tepat di hari ulang tahun saya dia
memberikan kado spesial yang membuat saya ingin menangis. Sepasang perhiasan
bunga kendari dan sebuah jam tangan bermerk, dia hadiahkan khusus untuk saya.
Andai saya tak punya ego, mungkin air mata ini sudah tumpah ruah membasahi
pipi. Tapi saya tak ingin melankolis, terharu dengan kenyataan di depan mata.
Yang lebih membuat saya merasa bersalah, secara diam-diam
dia telah membereskan pekerjaan saya. Mulai dari mencuci, menyapu dan
menyiapkan menu makanan untuk kami sekeluarga. Bahkan, saat dia gandeng tangan
saya menuju sebuah lemari, dan dia tunjukkan sebuah amplop hasil kerja kerasnya
selama ini, disitulah air mata saya benar-benar tumpah ruah.
Suami yang tadinya saya anggap kurang romantis, ternyata
melebihi apa yang saya kira. Baginya romantis itu tidak perlu dipamerkan kepada
orang lain. Namun diwujudkan dalam bentuk tindakan. Inilah dosa terbesar saya,
yang tak pernah menyangka bahwa kerja kerasnya selama ini hanyalah untuk saya,
istri yang amat dicintainya.
“Maafkan aku suamiku, aku telah salah menilaimu,” bisik saya dalam hati.
6 Komentar
Hehehe, kadang ada hal-hal yang dilakukan suami terus bikin kita kesal. Eh pas tahu alesannya, malah jadi nyesel knapa harus kesel sama suami, hihihi *pengalaman*
BalasHapusBener banget mbak....isteri sering berprasangka negatif duluan ya...padahal kenyataannya tidak seperti itu
Hapuswah.. penantian yg panjang ya.. tapi so sweet banget..
BalasHapussmoga samara senantiasa ya, Mbak..
menanti....... kesalahan kira yang bisa membuat kita....
BalasHapusSo sweet prikitiw dah
BalasHapusartikel indah dan bagus, tulisan mantap
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...