Lebaran selalu identik dengan moment kumpul keluarga. Sejak
tinggal di Bali, saya dan suami selalu menyempatkan diri pulang ke Blitar saat
lebaran tiba. Tak terkecuali tahun ini. Namun yang saya rasakan, lebaran kali
ini begitu berbeda. Berbagai peristiwa yang mengiringi sepanjang lebaran, baik
menjelang maupun sesudahnya seolah terjadi tanpa saya reka-reka. Ibarat sebuah
pelangi, perasaan sayapun ikut larut didalamnya. Rasa bahagia, bahkan beberapa
diantaranya menguras air mata, membuat saya benar-benar ingin selalu
mengenangnya.
Berawal dari rencana saya mengkhitankan Fawaz, anak semata
wayang saya yang selalu tertunda. Akhirnya saya memutuskan bulan Ramadhan ini Fawaz
harus dikhitan di Blitar. Dengan pertimbangan Ramadhan ini bertepatan dengan
libur sekolah. Disamping itu usia Fawaz yang sudah 11 tahun saya rasa sudah
waktunya dikhitan. Sementara untuk tahun depan, saatnya Fawaz menghadapi Ujian
Nasional SD dan sibuk mencari sekolah baru.
Dulunya saya sering naik motor dari Bali ke Blitar, namun berbeda
dengan puasa kali ini. Saya memutuskan membawa mobil agar lebih nyaman di
perjalanan. Namun, saya bukan orang yang lihai menyetir. Terpaksalah saya
datangkan adik ipar dari Blitar untuk menjadi sopir sesaat selama perjalanan
dari Bali ke Blitar. Niat sayapun terlaksana.
Akhirnya berbagai persiapanpun saya lakukan. Mulai dari cek fisik
mobil sampai membeli perlengkapan lainnya. Beruntunglah Fawaz termasuk anak yang
mengerti. Demi kenyamanan selama perjalanan, dia merelakan sebagian uang
tabungannya untuk membeli GPS penunjuk arah dan kasur angin mobil. Walau toh
akhirnya kedua barang ini tidak berfungsi karena sinyal yang jelek dan tempat
dudukan yang tidak cukup untuk meletakkan kasur angin.......
Perjalananpun dimulai. Berhubung suami belum mendapat ijin
cuti dari kantor, akhirnya saya berangkat ke Blitar berempat, saya, Fawaz, adik
dan suaminya. Sejak awal saya sudah mempelajari peta perjalanan melalui GPS,
namun kenyataannya sang sopir mempunyai rute sendiri. Usut punya usut dia ingin
menikmati pemandangan Tanah Lot di pagi hari.
kami ber 4 singgah sejenak di Tanah Lot |
saya dan Fawaz lagi narsis |
Tak banyak yang kami lakukan di Tanah Lot. Hanya foto-foto
dan membeli sedikit oleh-oleh, kamipun melanjutkan perjalanan ke Blitar. Tepat jam 11 wita kami sudah memasuki area
kapal feri dan siap menyeberang ke Jawa. Sayang, ombak yang besar membuat kami
harus terombang-ambing cukup lama diatas kapal. Biasanya hanya butuh waktu 30
menit, namun kali ini lebih dari 1 jam kami berdiam diri didalam kapal.
Tetapi saya bersyukur cuaca yang mengiringi perjalanan kami
sangat bersahabat. Jam 7 pagi berangkat
dari Denpasar, jam 10 malam kami sudah sampai rumah dengan selamat. Bahkan kami
masih bisa melaksanakan puasa, hanya sebungkus lontong tahu yang menemani buka
puasa kami di perjalanan.
Hari-hari berikutnya saya mempersiapkan Fawaz untuk
dikhitan, termasuk membesarkan hati dan memacu keberaniannya. Kebetulan, saya
bertemu sepupu yang saat itu sudah mengkhitankan anaknya. Usianya jauh dibawah
Fawaz. Dari dialah akhirnya saya berkonsultasi. Dan suasana menegangkan pun
terjadi. Saat sepupu mengajak saya berkonsultasi ke dokter, tiba-tiba Fawaz
langsung dieksekusi. Awalnya sih belum ada niatan untuk khitan, hanya
konsultasi.
ekspresi wajah Fawaz saat di khitan |
Ternyata dokter langsung mengkhitan Fawaz. Antara berontak,
marah dan menangis sekencang-kencangnya, saya masih bisa berusaha membesarkan
hati Fawaz. Walau sebenarnya sayapun ikut sedih. Menghadapi Fawaz yang kaget
tiba-tiba dikhitan tanpa ditemani suami, rasanya membuat saya harus mengusir
rasa takut. Bahkan demi menemani Fawaz yang sesekali mengerang menahan sakit,
saya siap begadang.
selesai di khitan |
Jawa memang kental dengan tradisinya. Termasuk khitan
menjadi tradisi yang harus dirayakan. Niat awal saya mengkhitankan Fawaz hanya
berpatokan pada kewajiban seorang muslim laki-laki, tanpa harus merayakannya.
Ternyata ibu mertua saya menyarankan untuk melaksanakan tradisi “brokohan”,
semacam selamatan dan mengantar makanan ke tetangga.
acara selamatan Fawaz |
Dan benar adanya, masyarakat Jawa memang masih menjaga
kerukunan antar sesama. Ketika mendengar tetangga mempunyai hajat, maka mereka
berbondong-bondong datang. Inilah yang membuat saya kelabakan. Sehari setelah acara
selamatan, tetanggapun ramai datang ke rumah. Beruntunglah ibu saya sudah
berpengalaman. Beliau telah menyiapkan sebuah jajanan kering untuk diberikan
kepada tetangga yang datang ke rumah.
jajanan untuk tamu yang berkunjung ke rumah |
Belum selesai acara di rumah, berita mengejutkan datang dari
kakak ipar saya. Dia mengabarkan kalau bapak mertua saya jatuh dari atap rumah.
Astaghfirullah, saya begitu kaget mendengarnya. Bersyukur jarak rumah kami
berdekatan, sehingga saya bisa melihat keadaan bapak mertua. Meski kabar yang
saya terima terlambat. Terus terang beliau tidak mau merepotkan saya yang
tengah sibuk mengurus Fawaz.
kondisi bapak mertua dan foto rontgentnya |
Melihat kondisi bapak mertua, pipi yang bengkak, tangan
kanan yang digendong dalam keadaan bengkak, serta betis yang memar, membuat
saya tak kuasa menahan rasa sedih. Namun saya berusaha keras mengajak beliau
untuk di rontgent, meski sudah dibawa ke sangkal putung. Ternyata benar adanya,
menurut hasil pemeriksaan tangan bapak bukan lagi bengkok tetapi memang patah.
Satu-satunya jalan adalah operasi.
Bersyukurlah kakak ipar saya yang tinggal di Mojokerto
sanggup menemani bapak untuk menjalani operasi di rumah sakit khusus patah tulang
yang terletak di Solo. Operasipun berjalan lancar, bengkak di tangan kanan
bapak berangsur sembuh. Walau begitu beliau masih sedih. Untuk sementara bapak
tidak bisa pergi ke sawah. Bapak juga tidak bisa mengendarai motor, atau
sekedar membonceng ibu berbelanja ke pasar.
Namun kesedihanpun seketika lenyap manakala semua cucu bapak
berkumpul di rumah. Kali ini kakak ipar saya yang tinggal di Medan mendapat
kesempatan cuti lebaran bersama keluarganya. Suamipun mendapat cuti lebaran
selama 5 hari. Jadilah lebaran kali ini terasa ramai, kami dapat berkumpul
lengkap dengan keluarga besar di Blitar.
dapur pun jadi ramai |
Hal yang paling berkesan saat lebaran adalah tradisi sungkem
dengan orang tua setelah sholat Ied usai. Inilah yang membuat kami tidak bisa
membendung rasa haru, mengingat betapa banyak salah dan khilaf kami selama
setahun ini. Kami bersalaman dengan orang tua, kakak, kakak ipar dan para
keponakan seraya memohon maaf atas segala khilaf. Hanya isak tangis dan derai
air mata yang terus kami saksikan sepanjang tradisi ini berlangsung. Meski
tidak berlangsung lama, namun kami sangat bersyukur bisa melaksanakan tradisi
semacam ini di lebaran tahun ini.
tradisi sungkem |
Setelah mengabadikan berbagai gaya dalam foto, kamipun siap
berkunjung ke kerabat dan saudara. Berita mengejutkanpun datang dari adik bapak
mertua saya. Ketika kami berkunjung ke kediamanan om (paklik), kami disambut
isak tangis yang sempat membuat tanya dalam hati. Ternyata bulek saya baru saja
terjatuh saat jalan didepan rumah dan harus dipapah karena kakinya tidak bisa
digerakkan. Sementara itu rumah anak bulek juga disatroni maling saat ia
mengantar ibunya berobat. Berbagai alat elektronik seperti kamera, laptop, ipad
dan lain sebagainya raib. Sedih mendengarnya.
Bergaya dulu dengan keluarga besar |
Cerita lebaran
lainnya juga mengalir indah ketika kami berkunjung dari kerabat satu ke kerabat
lainnya. Dan keesokan harinya tibalah kami menjalankan niat berikutnya, yaitu
ingin napak tilas mengenang masa-masa dimana kami masih hidup serba kekurangan.
Dengan mengendarai 3 buah motor, saya dan kakak ipar, dua orang keponakan serta
suami dan Fawaz, kami menyusuri jalanan terjal dan menanjak menuju rumah
saudara-saudara bapak mertua. Di rumah itulah suami saya dan kedua kakak ipar
dulunya tinggal.
napak tilas ke kampung |
Sedih memang melihat kenyataan di depan mata. Sebuah rumah
berdinding bambu dan berlantai tanah. Tak ada kompor, hanya ada tungku tanah
liat. Namun mereka hidup bahagia. Bulir-bulir kekecewaan tak pernah tergambar
diwajahnya. Satu hal yang membuat kami saling menitikkan air mata, saat melihat
kakak dari bapak mertua saya terkapar tak berdaya diatas kasur yang sudah mulai
tipis. Beliau terkena stroke, hingga membuat lumpuh dan tidak dapat berbicara.
Hanya deraian air mata yang mengalir saat melihat kami ada disampingnya.
Hmm.....benar-benar menguras air mata seharian di kampung.
Napak tilas itu membuat kami mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan
sepanjang hidup kami. Untuk itulah moment napak tilas saat lebaran kami jadikan
sebagai moment untuk berbagi. Ada sedikit angpau yang kami bagikan untuk
mereka. Walau jumlahnya tidak seberapa, namun kami yakin angpau yang kami
berikan dapat membantu meringankan beban budhe yang tengah mengurus sakitnya
pakde.
berbagi angpau lebaran |
Dibalik kesedihan ada rasa senang yang membuat kami betah
berkunjung ke kampung. Motor kami penuh dengan barang bawaan. Ada yang memberi
tiwul dan ampok (nasi jagung) instan. Ada yang memberi tape ketan. Ada juga
yang memberi kerupuk mentah, peyek kedelai bahkan kacang mentah. Semuanya tidak
bisa kami tolak. Mereka akan marah bila kami tidak menerimanya.
Bukan hanya itu, berkumpulnya kami saat lebaran tidak hanya
menyambung tali silaturahmi saja. Akan tetapi kami juga bisa menikmati kekhasan
kota Blitar, sambil mengenang masa kecil dulu. Seperti es drop yang kini
berganti nama dengan “es jadul”. Inilah es yang dari dulu sampai sekarang masih
bisa dinikmati.
berburu es jadul di hari lebaran |
Bahkan Fawaz dan saudara-saudaranya juga sempat bermain ke
tempat-tempat wisata, seperti alun-alun, museum Bung Karno dan menikmati
pemandangan kota Blitar sambil menaiki sebuah delman. Tak ketinggalan mereka
menikmati rujak cingur yang sangat lezat dan nikmat.
menikmati Blitar |
Saya pikir peristiwa saat lebaran sudah berakhir. Ternyata
keponakan dari Medan juga ingin dikhitan gara-gara melihat Fawaz sudah
dikhitan. Akhirnya saya dan kakak ipar kembali dibuat sibuk. Meski hanya
syukuran kecil-kecilan, namun kami kelabakan menyiapkan segalanya. Belum lagi
tamu yang berdatangan untuk bersilaturahmi lebaran, otomatis acara masak
memasak sempat terhambat demi menemui tamu.
khitanan keponakan dan memanjatkan doa di dapur |
Tapi kami tetap bersyukur, 15 buah nasi lengkap dengan lauk
pauk akhirnya jadi juga. Sebelum diantar ke tetangga, terlebih dahulu bapak
mertua memimpin doa bersama. Doa tersebut bertujuan agar hajat kecil-kecilan
yang diadakan kakak ipar saya diridhoi Allah, yang dikhitan senantiasa diberi
kesehatan dan makanan yang akan diantar ke tetangga akan membawa berkah. Meski
doa bersama berlangsung di dapur, namun tidak mengurangi kekhusyukan dan
kesungguhan hati untuk memohon kepada Allah SWT.
Sayapun sempat menghamburkan pandangan ke Fawaz. Selama
bapak mertua memanjatkan doa dengan bahasa Jawa (kromo inggil), ia hanya
senyum-senyum sambil geleng kepala. Pertanda ia tidak mengerti ucapan kakeknya.
Maklum, meski saya dan suami asli Jawa, namun kami lebih sering tinggal diluar
Jawa, tentunya membuat Fawaz tidak fasih berbahasa Jawa.
Dan alangkah senangnya kami manakala acara khitanan
keponakan juga berjalan lancar. Acara yang tidak disangka ternyata selesai
sesuai harapan. Yang menyedihkan, bersamaan dengan acara itu, paman saya, yang
menjadi wali nikah saya tiba-tiba masuk rumah sakit karena serangan asma yang
mendadak.
Entahlah tiba-tiba saya ingin mengenang paman. Adik bapak
saya yang pendiam dan pekerja keras. Beliau harus hidup sendiri setelah
istrinya meninggal setahun lalu. Anaknya 3, 2 perempuan dan 1 laki-laki. Namun
kedua anak perempuannya seolah memusuhinya. Hanya anak laki-lakinya yang secara
kasat mata kurang normal itulah yang selalu sayang dan perhatian kepada
bapaknya.
Saya bersyukur bisa melihat kondisi paman di rumah sakit.
Paman yang penuh dengan selang di tangan dan hidungnya, tidak terlihat seperti
orang sakit. Dengan kopyah di kepala saya melihat beliau sangat tegar. Bahkan
saya merasa tengah berbicara dengan orang sehat, sama sekali tidak nampak
tubuhnya yang sakit. Meski menurut dokter, penyakit beliau banyak macamnya.
Namun paman terlihat sehat walafiat.
Esoknya, tepatnya tanggal 9 Juli 2016, kami bersiap-siap
kembali ke Denpasar, mengingat hari Senin Fawaz sudah masuk sekolah dan suami
juga mulai ngantor. Sementara, adik ipar saya tetap saya mintai tolong menjadi
sopir sampai ke Denpasar.
Kami meninggalkan Blitar dengan banyak kisah yang tak
terlupakan. Bahkan, sepanjang perjalanan ada rasa yang sedikit mengganjal.
Ternyata saya mendengar kabar menyedihkan setelahnya. Paman saya, yang kemarin
saya bezuk di rumah sakit siang itu meninggal dunia. Sedih mendengarnya, karena
menurut cerita, beliau meninggal setelah terjatuh dari tempat tidur. Ceritanya
siang itu paman duduk-duduk di tempat tidurnya sambil berbagi cerita dengan
pasien lain yang ada disebelahnya. Belum selesai cerita, beliau terserang batuk
hebat hingga terjatuh. Ternyata begitu jatuh beliau langsung meninggal.
Innalillah.....kita memang tidak pernah tahu rahasia Allah. Kapanpun bila
Allah berkehendak, maka sesuatu itu bakal terjadi, termasuk kematian.
Ya....saya melanjutkan perjalanan dengan sedikit pilu. Hanya
doa yang bisa kami panjatkan semoga paman khusnul khotimah. Dan kami tetap
berharap perjalanan ke Denpasar lancar. Ternyata malah sebaliknya, dimana-mana
macet, antrian panjang kendaraan tak bisa dibendung. Akhirnya suami membuka
google map mencari jalan alternatif demi menghindari kemacetan.
Inilah yang membuat saya seolah sedang mengikuti uji
adrenalin, bak terjebak dalam “my trip my advanture”. Ternyata jalan alternatif
yang kami lalui adalah jalan setapak, tidak diaspal dan dikelilingi hutan
lebat. Tak ada orang lewat, bahkan peneranganpun sangat minim. Ada di satu
tempat yang benar-benar gelap. Disinilah Fawaz akhirnya berteriak dan menangis
kencang, meminta sopir untuk putar haluan. Namun entahlah suami dan adik ipar
tetap ngotot melanjutkan perjalanan.
adik ipar sang sopir andalan |
Sayapun membayangkan sosok yang menyeramkan tiba-tiba hadir
mencakar-cakar kaca mobil. Seketika itu juga saya seperti ketakutan. Dan
sampailah di puncak dimana deru mesin mobil sangat keras, beberapa kali tancap
gas, bukannya jalan tetapi mesin mati. Disitulah akhirnya sang sopir menyerah
dan memutuskan untuk kembali haluan. Hmmm....plong rasanya. Pikiran jelekpun
akhirnya sirna manakala kami menemui jalan raya yang ramai.
Meski sedikit terjebak kemacetan, namun akhirnya kami bisa
kembali menyusuri jalan yang membawa kami kembali sampai ke rumah dengan
selamat. Cerita lebaran yang asyik, suka dan duka menjadi kenangan terindah dalam hidup saya. Bagaimana dengan cerita lebaran asyik sahabat hijabers?
Dan jangan lupa saksikan event dari Diaryhijaber yaitu Hari Hijaber Nasional ya sobat.
Catat info detailnya :
- Nama Acara: Hari Hijaber Nasional,
- Tanggal: 07 Agustus 2016 – 08 Agustus 2016
- Tempat: Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat
Atau sobat bisa berpartisipasi dengan mengisi petisi di bawah ini:
2 Komentar
fawaz udah gede euy..udah sunat. moga2 jd anak sholih ya :)
BalasHapusamiin yra...terima kasih tante Muna
HapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...