Siang itu amat terik. Panasnya membuat trotoar di jalanan tercabik-cabik.
Sementara hembusan angin kencang kian memporak-porandakan pepohonan, hingga
satu persatu daun-daun itu jatuh berguguran, berserakan di trotoar.
Dewa angin makin gencar melemparkan serangan mautnya, namun semuanya dapat
ditumbangkan dewa matahari. Masing-masing mempunyai benteng pertahanan yang
sama kuat. Sayang, kekuatan mereka tiba-tiba tumbang manakala gumpalan awan
hitam bergerombol, berjalan perlahan berarakan tak ubahnya segerombolan anak
itik yang pulang ke kandangnya menjelang petang. Pergulatan dewa angin dan dewa
matahari terhenti.
Kabut itu datang menyapu keceriaan sang matahari. Seketika itu juga siang
berubah menjadi kelam. Butiran-butiran lembut siap ditumpahkan ke bumi. Tak
berapa lama, guyuran air hujan membasahi perkampungan yang mulai sepi ditinggal
penghuninya ke kota.
Ya..kampung itu benar-benar sepi. Sesepi hati Ana saat ini. Keceriaan itu
sudah lama menghilang, berganti kabut yang kini bersemayam di hati Ana.
Hari-harinya dilewati dengan mengurung diri di dalam kamar. Sudah dua hari Ana
pulang dari kota menengok Anto, calon tunangannya yang menjadi seorang tentara.
Namun dua hari pula ia sengaja mengunci dirinya di dalam kamar. Tiada lagi
gelak tawa canda Ana, tiada pula lantunan tembang manis yang diperdengarkan
oleh suara merdu Ana. Entah apa yang telah terjadi pada Ana. Tak seorangpun
tahu, termasuk Emak dan Mira, adiknya.
Emak sedih memikirkan tingkah laku Ana yang aneh semenjak kepulangannya dari
kota. Dua hari mengunci diri di dalam kamar, tidak makan dan minum. Keluar
kamar hanya untuk keperluan ke kamar mandi, setelah itu kembali lagi ke kamar
dan tak seorangpun diperbolehkan mengusik dirinya.
Bahkan saat Emak menyapapun, ”An, makan dulu.......”
”Iya Mak, sebentar.” Jabawan itulah yang terus dilontarkan Ana manakala Emak
mengetuk pintu kamarnya dan menawari sesuatu.
Emak semakin bingung. Kenapa sikap Ana berubah setelah menengok Anto? Apakah
Anto penyebabnya? Tiba-tiba berbagai kata ”jangan-jangan” bercokol di pikiran
Emak.
”Jangan-jangan Ana berantem dengan Anto.”
“Jangan-jangan Ana di aniaya Anto.”
“Jangan-jangan Ana di perkosa Anto.”
“Jangan-jangan Ana di hamili Anto.”.............atau......
“Jangan-jangan Ana malah diputus Anto.”
Ah........kenapa pertanyaan-pertanyaan itu terus mengejar dan menghantui
pikiran Emak?
Sorot mata Emak menatap tajam langit-langit yang sudah mulai keropos dimakan
jaman. Batinnya tengah bergemuruh dihunjam tanya yang tak juga ada jawabnya.
Tiba-tiba saja terlintas rasa penyesalan. Menyesal karena membiarkan anak
gadisnya menengok calon tunangannya seorang diri.
”Andai saja waktu itu aku bisa mencegahnya, pasti Ana tidak akan seperti
ini”, batinnya lirih.
”Andai Anto telah merenggut kegadisan Ana, apa yang bisa kupertanggungjawabkan
di hadapan-Nya? Aku seorang ibu yang gagal, gagal menjaga kesucian anak gadisku
sendiri. Oh, Tuhan ampuni aku….”, tangis Emak dalam hati.
******************
Ana berasal dari keluarga miskin. Ayahnya seorang kuli bangunan yang telah
meninggal tiga tahun silam akibat kecelakaan. Semenjak itu Emak mati-matian
kerja keras menjadi seorang pemetik cabe di sawah milik juragan Amir demi
menghidupi dirinya dan Mira adiknya. Meski tidak diperhitungkan di kampungnya,
Ana tidak patah semangat. Ia terus berjuang untuk mengangkat derajat
keluarganya.
Sejak kecil Ana sudah terbiasa hidup susah dan pekerja keras. Setamat dari
sekolah menengah pertama di kampungnya, ia bertekad mencari pekerjaan di kota
dan melanjutkan sekolahnya. Usahanya pun berhasil.
Beruntunglah Bu Sholeha,
teman Emak di kampung yang sukses di kota membawa Ana ke kota untuk dijadikan
baby sister dan disekolahkan disana.
Kini ia telah mempunyai ijasah SMA. Meski tidak bisa melanjutkan kuliah
namun ia bangga bisa membiayai sekolahnya sendiri tanpa mengusik ketenangan
Emak. Pekerjaannya di kota ia tinggalkan demi menemani Emak yang terlihat
semakin tua di makan usia.
Di kota lah Ana mengenal sosok Anto. Setelah dua bulan berkenalan, panah
asmara itu akhirnya menancap di hati masing-masing. Guratan-guratan cinta
dibalut dengan indahnya kasih sayang diantara mereka akhirnya bersemi,
menyatukan dua hati yang berbeda.
Sejak saat itu mereka berikrar untuk sehidup semati. Mulailah hari-hari Ana
dipenuhi oleh busur-busur cinta yang siap dipanahkan Anto. Sadar akan
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan mereka bertekad untuk mempererat
hubungan mereka. Sekali waktu Ana membawa Anto ke kampung, memperkenalkannya
kepada Emak dan Mira.
Demikian halnya dengan Anto. Anto yang lama hidup di kota tidak canggung
memperkenalkan Ana yang notabene anak kampung kepada keluarganya. Ternyata
keluarga kedua belah pihak sama-sama memberikan lampu hijau pada hubungan
asmara mereka. Emak terlihat bangga pada Ana yang mempunyai calon tunangan
seorang tentara.
Setidaknya keluarganya akan diperhitungkan di kampung, terlebih oleh
orang-orang kaya yang hanya memandang sebelah mata padanya. Dan keluarga
merekalah yang menyarankan bertunangan terlebih dahulu sebelum menikah, itupun
di-amin-i oleh Ana dan Anto.
------------------------------------------
Hari pertunangan itu telah ditentukan oleh keluarga Ana dan Anto. Mereka
mengambil kesepakatan kalau pertunangan itu akan dilaksanakan setelah Anto
menyelesaikan pendidikannya selama kurang lebih dua bulan.
Dua bulan itu telah berlalu, Anto telah menyelesaikan pendidikannya. Selama
selang waktu itu hubungan mereka terlihat baik. Ana sering menelpon Anto di
tempat pendidikan, pun Anto juga sering mengirim surat kepada Ana. Hari-hari
Ana kelihatan berbunga-bunga manakala ia menerima surat dari Anto dan
menceritakan perihal surat itu kepada Emak. Sampai akhirnya, dua hari yang lalu
setelah Ana pulang dari kota perangainya berubah drastis.
”Apa gerangan yang tengah terjadi pada Ana?”, lagi-lagi Emak bertanya di
dalam hati. Sekali lagi pintu kamar itu di ketuk. Kali ini Emak tidak akan
membiarkan anaknya terus mengurung diri di dalam kamar. Ia harus tahu apa yang
telah menimpa Ana hingga ia berbuat seperti itu.
”An, buka pintunya nak, Emak mau bicara!”
Tidak ada sahutan di dalam sana. Sekali lagi Emak memohon kepada Ana.
”An, ayo nak tolong buka pintunya, Emak mau bicara sama kamu. Emak ingin
tahu apa yang terjadi padamu. Ayolah nak buka pintunya, siapa tahu Emak bisa
membantu kesulitanmu.”
Pintu itu sedikit terbuka, dari dalam menyembul wajah Ana yang terlihat kuyu
dan pucat. Tumpahan air mata masih membekas di mukanya. Tubuhnya terlihat lemas
karena dua hari tidak makan.
Sejenak Emak mengamati sosok yang ada dihadapannya. Ada rasa pedih yang
menyengat ulu hatinya. Tiba-tiba sepasang -emak dan anak- ini berpelukan erat
sambil menangis sejadi-jadinya, seolah menumpahkan seluruh isi hati mereka yang
sempat tertahan. Sampai akhirnya tangis itu reda.
”Apa yang tengah menimpamu hingga kamu seperti ini, nak? Ayolah ceritakan
pada Emak biar Emak tahu duduk persoalannya. Terus terang Emak sedih melihat
anak Emak seperti ini, karena Emak tidak tahu harus berbuat apa. Semoga
pikiran-pikiran jelek yang menghantui Emak akhir-akhir ini tidak menimpamu
nak”, pinta Emak dengan nada memelas.
Lagi-lagi Ana hanya menangis, tak satupun kata sempat terucap di bibir Ana.
Rasanya susah untuk menghentikan isak tangis Ana, dia enggan untuk
mengungkapkan dengan kata-kata.
”Ayolah nak ceritakan sama Emak, agar Emak tahu apa gerangan yang tengah
menimpamu”, pinta Emak sekali lagi.
Dengan sekuat tenaga Ana berusaha menghentikan tangisnya, ia mulai mengatur
napasnya yang dari tadi tidak beraturan.
”Hatiku sakit Mak, teriris seperti disayat sembilu. Mas Anto Mak, dia tega
berbuat sekejam itu”, Ana terdiam, tidak sanggup berkata-kata lagi........
Deg...jantung Emak rasanya mau copot, ia tidak ingin rekaannya selama ini
benar, tapi kenapa Ana memotong kalimatnya, apa yang terjadi? Emak komat-kamit
dalam hati berharap sesuatu yang menimpa Ana masih diambang batas yang wajar.
Lalu....
”Mas Anto memutuskan hubungan kami Mak”, tangis itu meledak lagi......
”Syukur-syukur”, gumam Emak dalam hati.
“Kenapa Anto tega memutuskan hubungan kaliah secara sepihak, apa dia sudah
punya pilihan lain. Atau dia memandang rendah padamu sama seperti anak-anak
Juragan Amir hingga dia menganggapmu tidak pantas bersanding dengannya, mana
janjinya dulu?”, cerocos Emak.
Sejenak Ana terdiam. Dia berusaha mengatur napasnya yang sejak tadi berjalan
tidak normal.
”Dia dijebak Mak. Waktu mengikuti pendidikan di Bandung, dia tinggal di
rumah seniornya. Mas Anto tidak mengira kalau dibalik sikap baik seniornya
tersimpan maksud lain. Mas Anto disuruh mempertanggungjawabkan perbuatan yang
sama sekali tidak pernah dilakukannya. Dia dituduh memperkosa anak gadisnya.
Mas Anto bingung, dia harus dihadapkan pada dua pilihan, aku atau karir yang
sudah bertahun-tahun dirintisnya dari bawah. Demi karir dia rela meninggalkanku
Mak”, embun itu masih menetes meski tak sederas sebelumnya.
”Terus, kenapa sampai kamu mengurung diri di dalam kamar, tidak makan tidak
minum? Apa sih untungnya An, masih banyak lelaki lain yang lebih dari Anto.
Siapa tahu Anto bukan jodohmu. Mak sampai bingung, kirain kamu kenapa-napa,
nggak taunya diputus to!”, ledek Emak.
Ana tersipu malu. Bener juga apa kata Emak, wong cuma diputus cinta aja
sampai segitunya, dunia serasa mau kiamat.
”Alah Emak ini kayak nggak pernah muda aja, sakit Mak rasanya. Coba kalau
Emak yang ngerasain sendiri, pasti nggak doyan makan, minum, apalagi diajak
ngomong, maunya air mata ini mengalir terus.”
”Ngapain aja kamu di kota? Sama Anto diapain?”, selidik Emak.
”Emak ini kayak detektif aja, detail banget nanyanya. Ini dia Mak yang bikin
Ana kesel banget. Udah diputusin sama mas Anto, e…saudara perempuannya itu
malah memaki-maki aku Mak, sakit banget. Mas Anto tidak tahu, waktu kuceritain,
e...malah mas Anto nggak percaya. Dia bilang saudaranya itu alim, lemah lembut
nggak mungkin kalau dari mulutnya keluar kata-kata sekasar itu. “
“Satu lagi Mak, waktu Ana kerumah orang tuanya mas Anto, mereka sama sekali
tidak bisa berbuat apa-apa, semuanya diserahkan ke mas Anto. Duh, tambah sakit
dua kali Mak”, mata Ana melotot sambil kedua tangannya mengepal.
”Tapi, aku masih cinta sama mas Anto Mak?”, tangis itu meledak lagi.
Emak kasihan melihat Ana. Dia prihatin dengan nasib yang menimpa anak
gadisnya. Lekas dipeluknya tubuh Ana.
“Sudahlah An, mungkin Tuhan akan mengirimkan jodoh yang lebih baik dari
Anto. Biarlah Anto menjadi milik orang lain. Terimalah kenyataan ini dengan
hati lapang dan hiasilah hidupmu dengan hal-hal yang nyata, bukan mimpi.
Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun
terjadi karena kebetulan. Siapa tahu esok atau lusa jodohmu akan datang
tiba-tiba.....”, yakin Emak sambil mengelus rambut panjang Ana.
Ana manggut-manggut pertanda ia setuju dengan ucapan Emak.
”Hapus air matamu, tunjukkan kalau dirimu tegar menghadapi segala cobaan
seperti tegarnya batu karang yang tak mudah terkikis hembusan gelombang pasang.
Ayo makan sana, Emak sudah masakin pepes ikan tongkol kesukaanmu. Jangan bilang
kalau kamu tidak selera, demi Emak makanlah!”
Ana menuruti perintah Emak, ia berjalan mengikuti langkah Emak.
Sejenak langkah Emak terhenti, rupanya ada satu lagi pertanyaan yang
terlupa.
”Eh, An, ngomong-ngomong kamu belum diapa-apain sama Anto kan? Kamu masih
perawan?”
”Ealah Emak, masak ragu sama anak sendiri. Jelek-jelek begini Ana kan
jebolan pondok pesantren. Jangan dikira mentang-mentang pernah tinggal di kota
tabiat Ana sudah berubah Mak. Masih orisinil. Nggak percaya, lihat aja
sendiri.” Gelak tawa itu kembali terdengar dari mulut Ana yang sudah lama tak
terdengarkan. Emak pun ikut bangga mendengar penuturan Ana sambil
manggut-manggut pertanda setuju dengan ucapan anaknya.
***************************
Setelah kejadian itu Ana mengisi hari-harinya dengan berbagai kegiatan.
Mesin jahit peninggalan almarhum ayahnya ia gunakan untuk mempraktekkan ilmunya
yang didapat dari kota. Hasilnya cukup lumayan meski belum serapi penjahit
profesional. Sekali waktu ia ikut Emak memetik cabe di sawah milik juragan
Amir.
Sedikit demi sedikit rasa sakit karena diputus cinta semakin menghilang,
meski sejujurnya ia masih amat mencintai Anto dan tidak dapat melupakan
kejadian kala di kota itu.
Ana tidak ingin terlihat rapuh, ia berusaha menatap hari esok dengan senyum,
meski senyum itu masih sedikit terasa getir saat menatap sosok Anto yang
terpampang di dinding kamarnya. Lekas diambilnya gambar itu dan disimpan
rapat-rapat dalam laci meja riasnya. Ia ingin menutup lembaran kelam yang
ditorehkan Anto.
Sampai suatu hari Bu Sholeha datang ke kampung menemui Emak,
dia membawa kabar baik bagi Ana.
”Kedatanganku kemari tidak lain hanyalah menanyakan perihal Ana. Andi,
adikku yang nomor tiga kemarin baru tiba dari berlayar. Dulu waktu Ana ikut
aku, Andi juga masih tinggal bersamaku, jadi mereka saling kenal baik. Karena
itulah Andi menyuruh aku kesini untuk meminta Ana jadi istrinya. Kamu setuju
nggak Las -(panggilan Emak)-?”
Hati Emak berbunga-bunga. Pucuk dicinta ulam tiba. “Semoga ini benar-benar
jodoh Ana”, batin Emak girang.
“Aku sih setuju-setuju saja, Ha, tergantung Ana. Nanti kusampaikan berita
baik ini padanya, pasti dia juga setuju. Kebetulan Ana masih ikut kursus
menyulam di kampung sebelah jadi pulangnya agak sore”, jawab Emak.
”Baiklah Las, kutunggu khabar selanjutnya, kalau sudah ada jawaban dari Ana
lekas kasihtahu aku. Aku akan mempersiapkan pesta besar-besaran buat hari jadi
anak kita.”
Sepulang Bu Sholeha, Emak bernyanyi sendiri sambil menari-nari kecil
pertanda hatinya senang. Mira pun ikut geleng-geleng dibuatnya. Ia berharap
siang segera berganti sore dan lekas disampaikannya khabar baik ini kepada Ana,
karena Emak ingin menghilangkan luka hati anaknya yang masih sedikit menganga.
------------------------------------------------------------------------------
“An, tadi bu Sholeha ke rumah………….”
“Mau ngapain Mak, mau ngajak Ana ke kota lagi? Tidak deh Mak, Ana masih
trauma dengan kota, terutama dengan kejadian itu Mak!”, potong Ana.
”Tunggu dulu, Mak belum selesai ngomong, emang kamu mau diajak ke kota....”
”Nah, benar kan, sekali lagi maaf Mak, Ana tidak bisa”, sergah Ana.
”Kamu ini nerocos aja, Mak belum selesai ngomong jangan di potong. Maksud
kedatangan bu Sholeha kesini mau mengajak ke kota lagi sekaligus melamar kamu untuk
jadi istrinya Andi”, jelas Emak.
”Hah, yang bener Mak, Andi yang ganteng itu, masak sih Mak Ana nggak
percaya.” Sontak Ana memukuli wajahnya sendiri, ia takut kalau-kalau apa yang
didengarnya cuma khabar angin. Mata Ana melotot, telinganya di korek-korek
meski tidak ada kotoran didalamnya.
”Mak nggak bohong kan?”, tanya Ana sekali lagi seolah nggak percaya dengan
berita yang disampaikan Emak.
”Kalau bohong ngapain Mak sampaikan. Justru ini khabar beneran yang dibawa
bu Sholeha dan dia pengen tahu jawaban secepatnya. Katanya kalau kalian
sama-sama setuju bu Sholeha akan mempersiapkan pesta besar-besaran di kota buat
ngerayain hari jadi kalian. Gimana?”, tegas Emak.
”Setuju-setuju Mak”, hati Ana berbunga-bunga. Akhirnya inilah jodoh yang
dikirimkan-Nya untukku, manusia hanya bisa berusaha dan berencana tapi Tuhan
jualah yang menentukan, batin Ana bersorak.
”Tapi An, sekali lagi Mak mau tanya sama kamu. Kamu benar-benar masih
perawan kan? Jangan sampai nantinya Andi keliru memilihmu”, tanya Emak
penasaran.
”Ceile Mak, berapa kali sih Ana harus ngomong sama Emak, apa perlu
pembuktian yang akurat. Ini nih Mak, dengar baik-baik, buka mata, buka telinga,
sampai saat ini Ana masih P-E-R-A-W-A-N.............”
Ana berlari sambil bersiul menjauhi Emak
@@@@@@@@@
1 Komentar
hihihi... emaknya penasaran banget ya... :)
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...