“Sudah 3 tahun menikah belum punya momongan, mengapa?
“Kehidupan saya masih
begini-begini saja. Suami nganggur, sementara saya baru saja dipecat. Kalau saya
punya anak, takut tidak terurus. Saya ingin berbisnis mengumpulkan tabungan
dulu, baru memikirkan anak.”
Barangkali banyak diantara kita yang merasa ketakutan
menghadapi kehidupan setelah pernikahan. Dulu ketika masih berpacaran, hanya
hal-hal baik yang tampak. Namun setelah menikah, ternyata sesuatu yang buruk
tiba-tiba terjadi.
Hidup tak ubahnya seperti panggung sandiwara. Ujian-ujian
itu datang silih berganti. Kalau kita terus bersembunyi dan tidak berani
menghadapi ujian itu, niscaya selamanya kita akan terbelenggu dalam ujian yang
tidak akan pernah habis. Hanya orang yang beranilah, yang kelak akan terbebas
dari ujian kehidupan.
Semenjak menikah, saya harus berjuang demi kehidupan dan
pernikahan saya. Pasalnya, saya menikah karena perjodohan, tentunya kami belum
saling kenal satu sama lain. Ditambah suami saya yang berdinas di Papua. Otomatis,
saya harus resign dari tempat kerja dan mendampinginya kesana.
Belum lagi gaji
suami yang tinggal separo. Dia tunjukkan slip gajinya yang sudah tidak utuh
lagi. Skep gajinya terpaksa dijaminkan ke bank demi membiayai pernikahan kami. Bukan
lantaran orangtuanya tidak mau membantu, tapi memang dia ingin membiayai
sendiri pesta pernikahan kami.
Sudah bisa dibayangkan betapa susahnya kehidupan kami waktu
itu. Hidup di Papua dengan gaji yang pas-pasan. Sementara saya sudah tidak
mempunyai penghasilan yang bisa diandalkan. Saya memutuskan untuk menjadi ibu
rumah tangga dan aktif dalam kegiatan didalam asrama demi membantu tugas suami.
Sejak saat itu, tekad saya bulat. Saya harus bisa menjadi pribadi yang tangguh dalam menjalani kehidupan setelah pernikahan. Menikah sudah menjadi keputusan
saya. Itulah sebabnya saya harus siap menerima segalanya, termasuk siap
menerima sikap dan perangai sesungguhnya suami saya, juga siap menerima keadaan
yang saya hadapi.
Ketika satu persatu permasalahan itu bermunculan, bukan air
mata atau rasa penyesalan yang saya tunjukkan. Namun semangat untuk bangkitlah
yang membuat saya tetap bertahan. Sebagai istri seorang TNI, tentunya banyak
permasalahan didalam asrama yang harus saya selesaikan, mulai dari pertengkaran
kecil antar tetangga, kesulitan keuangan ibu-ibu di asrama dan masalah-masalah
lain. Belum lagi masalah pribadi saya yang membuat saya terus berjuang.
Dua tahun menikah, kami belum dikaruniai momongan. Namun dengan
segenap keberanian, akhirnya saya terus berjuang untuk mendapatkan keturunan. Mulai
dari pijat, mengkonsumsi obat-obatan, sampai berobat ke berbagai dokter
kandungan. Tentunya semua itu butuh biaya yang sangat banyak. Sekali lagi,
suami kembali menjaminkan skepnya untuk meminjam sejumlah uang di bank.
Barangkali hidup dengan gali lubang tutup lubang memang
terasa berat. Namun hanya ada satu tekad dalam benak kami, bahwa yang kami
inginkan adalah keturunan. Ternyata, Allah mengabulkan doa kami. Perjuangan kami
dikabulkan Allah. Dan setelah anak kami lahir, saya dan suami merasakan bahwa
kehidupan kami jauh lebih baik dari sebelumnya. Itu artinya, anak selalu
membawa berkah dalam kehidupan orang tuanya.
Saya tidak menganggap anak sebagai beban. Nyatanya, setelah
dia hadir dalam rumah tangga kami, penghasilan suami pun bertambah. Meski saya
hanya seorang ibu rumah tangga, namun alhamdulillah kami merasa cukup. Bukankah
dapat bertahan hidup selama sebulan, mencukupi kebutuhan anak dan melayani
suami dengan baik, sudah cukup membuat hidup bahagia?
Demikianlah kehidupan keluarga kecil kami, hingga detik ini tak ada ucapan yang lebih berharga dari sebuah kata "syukur". Dari dinas di Papua, lalu pindah ke Bali, kemudian Bogor dan kini kami terpaksa harus menjalani hubungan jarak jauh karena suami dipindahtugaskan ke Jakarta, sementara saya masih menemani anak yang menyelesaikan sekolahnya di Bali. Rasanya hanya syukur itulah yang senantiasa mewakili perasaan kami.
Kami tidak bergelimang harta, pun juga tidak hidup mewah, namun kami tetap merasakan kebahagiaan ditengah peliknya permasalahan. Setiap cobaan yang datang, kami selalu melibatkan Allah untuk membantu menyelesaikan permasalahan kami, karena kami yakin bahwa semua alur kehidupan ini sudah ditentukan oleh Allah.
Demikian halnya dengan jodoh. Allah-lah yang memilihkan jodoh saya. Baik buruknya pasangan saya, tentu Allah telah menakarnya, jadi yang saya lakukan adalah menerima semua kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Satu hal yang senantiasa kami pegang adalah kepercayaan, hingga kami pun percaya bahwa semua yang terjadi di bumi ini telah digarikan oleh Allah, kita sebagai umat-Nya harus menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada, bahkan senantiasa harus bersyukur.
Jadi, kalau boleh saya simpulkan, bahwa menikah itu adalah ibadah. Bagaimana pernikahan itu bisa bermakna ibadah, hanya kitalah yang harus merawatnya dengan penuh keimanan. Niscaya bila Allah selalu kita libatkan dalam setiap permasalahan, insyaallah kita bisa mempertahankan keutuhan keluarga. Tetaplah tangguh menghadapi pernikahan meski diterpa permasalahan dalam keluarga kita!
13 Komentar
Iya ya mbak. Namanya hidup, harus tetap tabah meski banyak kendala. Sukses selalu mbak Yuni
BalasHapusBetul mbak Susi, terima kasih supportnya
HapusKata ibu saya, kalau hidup lempeng-lempeng aja, gak ada gregetnya. Jadi dinikmati aja setiap perjuangan, karena pasti ada hikmahnya. Sehat dan bahagian terus ya, Mak Yuni :)
BalasHapusBener bgt petuah ibunya mak...terima kasih saran dan dukungannya
HapusSama juga Mak dengan saya, mau nikah pinjam uang di bank. Hehehe....badai pasti berlalu
BalasHapusMembaca cerita di blog selalu terbayang perjuangan ibu2 rumah tangga yg keren bertahan apapun kondisi suami. Salut & inspiratif banget. :)
BalasHapusTerima kasih mak Lusi
HapusBuat saya, berumah tangga juga merupakan proses belajar. naik turunnya membuat kita semakin banyak belajar dan memahami arti hidup.
BalasHapusSaya sudah 15 tahun menikah. Dari awal pernikahan hingga 8 tahun penuh gejolak, hampir saja kami menyerah. Tapi alhamdulillah, semakin kesini kami saling menjaga perasaan dan berusaha saling membahagiakan. Sederhana...
BalasHapusSangat inspiratif, pada pragraf awal saya jadi takut untuk menikah (pernikahan terlihat begitu seram) namun setelah melanjutkan membaca sampai ending ternyata Happy ending dan dapat pesan #berani lebih menghadapinya. Sukses mbak
BalasHapuskebayang susahnya mbak, jauh dari kampung halaman, gaji tinggal separo. tapi sukses ya mbak setelah itu.
BalasHapusPerempuan tangguh mbak, nggak cepat menyerah. Itu poin yan aku suka Mak :-)
BalasHapusbetul mak, sebagai seorang istri, kita harus tangguh dalam menghadapi apapun
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...