Hidup itu ibarat sebuah petualangan. Terkadang didalamnya penuh berbagai tantangan. Bisa jadi tantangan itu cukup menegangkan, namun seru untuk diikuti alurnya. Seperti jalan cerita film musikal “Petualangan Sherina 2” yang mengingatkanku kembali akan perjalanan hidup keluarga kecilku.
Film Musikal Petualangan Sherina 2
Petualangan Sherina 2 mengisahkan seorang jurnalis yang suka tantangan, memiliki rasa keingintahuan tinggi, yang diperankan oleh Sherina Munaf. Dalam film ini Sherina memerankan tokoh dengan nama yang sama. Ia disandingkan dengan Derbi Romero yang berperan sebagai Sadam.
Sherina dan Sadam adalah teman masa kecil. Dulu mereka sangat dekat, namun harus berpisah karena perbedaan prinsip. Dalam sebuah kesempatan, dimana Sherina mendapatkan tugas kantornya untuk meliput pelepasan OUKAL (Orang Utan Kalimantan) bersama Aryo sang fotografer, ia dipertemukan kembali dengan Sadam setelah 10 tahun terpisah. Meski awalnya ia terpaksa menerima tugas tersebut, karena harusnya ia pergi ke Davos untuk meliput World Economic Forum, nyatanya harus ke Kalimantan. Namun pertemuannya dengan Sadam membuat Sherina senang.
Petualangan Sherina 2 (sumber: google) |
Disinilah petualangan itu dimulai. Orang hutan yang akan dilepas itu adalah sepasang induk dan anaknya bernama Sayu. Ternyata pelepasan orang hutan ini tidak semulus yang diharapkan. Anak buah Sadam rupanya memanfaatkan situasi ini dengan memperjualbelikan sepasang induk dan anak orang hutan ini kepada Syailendra, yang tak lain adalah pimpinan Sherina ditempatnya bekerja.
Demi memperjuangkan kedua orang hutan ini kembali ke habitatnya di hutan Kalimantan, Sherina nekat melawan orang-orang suruhan Syailendra. Ia tidak lagi mempedulikan keinginan Sadam. Sementara Sadam, tidak bisa berbuat banyak, kecuali menemani Sherina melawan para penjahat itu. Disinilah jiwa petualang Sherina diuji. Bersama Sadam, ia harus nekat mengejar penjahat-penjahat itu dengan menaiki boat yang mesinnya mendadak mati di tengah perjalanan. Lalu mereka harus mati-matian melawan penjahat itu dengan kekuatan mereka. Sampai mereka pun terjebak dalam gudang penuh barang dengan kondisi tanpa aliran listrik. Namun mereka tidak kehilangan akal.
film Petualangan Sherina 2 (sumber: google) |
Mereka ciptakan jebakan untuk melumpuhkan musuh, sampai akhirnya mereka tahu kemana orang hutan itu dibawa. Penjahat itu membawa orang hutan ini ke sebuah dermaga. Sadam dan Sherina yang mengejar penjahat ini bisa menemui mereka di dermaga.
Sayangnya anak buah Syailendra terlalu kuat untuk dilawan. Sherina tidak berhasil mengambil kedua orang hutan ini. Disinilah Sadam mulai menyerah. Ia tidak bisa terus menerus mengikuti keinginan Sherina yang terlalu keras untuk ditaklukkan. Akhirnya Sherina disuruh kembali ke Jakarta, karena memang tugasnya meliput di hutan Kalimantan sudah selesai.
film Petualangan Sherina 2 (sumber: google) |
Sesampainya di Jakarta, rasa penasaran Sherina belum hilang. Ia melihat sebuah tanda di tangan wanita yang ada di kantornya, mirip dengan tanda yang pernah dilihatnya saat ia berusaha merebut orang hutan itu di dermaga. Sherina menghadap pimpinannya supaya diberi kesempatan lagi untuk sebuah pembuktian. Rupanya sang pimpinan mengijinkan, dengan catatan agar ia berhati-hati menghadapi Syailendra yang memiliki kekuatan dan anak buah banyak.
Sherina menghadiri acara pesta perayaan perkawinan Syailendra ke dua tahun. Tanpa disangka ia kembali bertemu dengan Sadam, dan mereka pun akhirnya berdamai demi sebuah pembuktian. Meski tak mudah akhirnya mereka bisa membuktikan bahwa kedua orang hutan itu dibeli Syailendra khusus untuk istrinya sebagai kado perkawinannya. Berkat gerak cepat Sherina, Syailendra dan komplotannya tertangkap polisi.
Film Petualangan Sherina 2 ini selain menceritakan sebuah petualangan yang membuat penontonnya terbawa situasi, juga menyuguhkan cerita keluarga harmonis, dimana terdapat kedekatan hubungan orang tua dan anak. Sherina sebagai anak tunggal, ia selalu dekat dengan kedua orang tuanya. Dalam berbagai kesempatan, Sherina selalu menceritakan kondisinya, bahkan pertemuannya kembali dengan Sadam juga diceritakan kepada kedua orang tuanya. Inilah yang membuat mereka bangga memiliki anak sepandai Sherina.
Satu hal yang tetap Sherina ingat, bahwa kedua orang tuanya selalu membawakannya bekal makanan ketika ia pergi, salah satunya OREO Wafer. Aaah…benar-benar kisah ini kembali mengingatkanku saat masih tinggal di Jayapura, Papua. Papua memang penuh kenangan, di pulau inilah aku berjuang membesarkan anak semata wayangku bersama suami yang kebetulan dinas disana.
Perjuangan Hidup di Jayapura Papua
Masih jelas tergambar perjuangan kami hidup di Jayapura. Meski suami berdinas sebagai anggota TNI, namun kami adalah manusia biasa yang tidak kebal terhadap serangan nyamuk malaria. Setiap bulan aku harus menunggui suami yang tergolek lemah di sebuah bangsal rumah sakit karena malaria-nya kambuh. Belum lagi jika aku atau Fawaz, anak semata wayangku yang juga beberapa kali harus menjalani rawat jalan karena serangan malaria. Sungguh hari-hari itu terasa sangat berat kulewati.
Rumah kami di Angkasa, Jayapura (dokpri) |
Terlebih ketika suamiku dipindahtugaskan ke tempat yang agak jauh dari kota Jayapura, Angkasa namanya. Meski rumah yang kami tempati adalah rumah dinas, namun rumah dinas disana tidak seperti rumah dinas pada umumnya. Disana tidak ada pengamanan seperti pos penjagaan atau provost yang bergantian jaga setiap malam. Rumah kami terletak di pinggir hutan, otomatis dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang menyeramkan. Sementara tetangga kami bisa dihitung dengan jari.
Fawaz saat di PNG (dokpri) |
Ketika malam tiba, semua pintu tertutup, jarang ada diantara kami yang berani keluar rumah. Yang kami takutkan adalah orang mabuk yang suka berkeliaran di malam hari, atau ular yang tiba-tiba nongol disamping rumah. Bahkan, persediaan air bersih pun tidak begitu lancar. Kami harus menyediaan bak penampungan yang besar, karena air mengalir dua hari sekali. Dan bila saatnya air mengalir, aku harus begadang nungguin bak penampungan penuh, agar saat air itu tidak mengalir aku masih mempunyai persediaan air bersih yang cukup.
Bersyukur, walau dalam situasi yang sulit, aku bisa hidup bersama keluarga kecilku. Jarak kantor suami dengan rumah agak jauh. Demikian juga jarak sekolah Fawaz dengan rumah. Meski begitu mereka tidak pernah berangkat bersama. Suami harus berangkat lebih pagi supaya tidak terlambat apel pagi, sementara aku yang mengantar Fawaz ke sekolah, menyusuri jalan satu arah yang kadang kabutnya sangat tebal di pagi hari.
Meski begitu aku sudah terbiasa bangun lebih awal, membereskan pekerjaan rumah tangga dan menyiapkan sarapan pagi untuk mereka berdua. Kadang sesuatu yang menakutkan datang di pagi hari. Ular-ular tak diundang itu tiba-tiba datang dan menjulurkan badannya ketika kubuka pintu belakang rumahku. Maklum, rumah dinas kami dikelilingi hutan, tanpa tertutup pagar. Bahkan semak-semak itu terlihat rimbun. Mungkin disitulah tempat ular-ular itu bersembunyi.
Kalau sudah demikian, biasanya aku mengurungkan niat untuk mencuci, menunggu suami membereskan ular-ular tersebut supaya pergi dari rumah. Bersyukur aku memiliki dapur didalam rumah, sehingga bisa leluasa masak tanpa dihantui rasa takut karena ular itu. Dan sudah menjadi kebiasaanmu membawakan bekal makan untuk Fawaz, karena sekolahnya menganjurkan anak-anak tidak jajan sembarangan.
Fawaz yang suka lucu (dokpri) |
Masih jelas kuingat ketika teman Fawaz minta dibuatkan bekal yang sama persis dengan bekal Fawaz. Lalu ibunya bertanya padaku apa resepnya. Padahal bekal yang kubawakan Fawaz hanyalah nasi goreng biasa, yang memasaknya tanpa bawang merah atau bawang putih. Fawaz memang tidak suka bumbu-bumbuan. Dan untuk mengakalinya aku membuatkan nasi goreng cukup dicampur dengan telur orak arik, saos tomat, kecap, lalu campuran nasi tersebut kugoreng sebentar hingga berbau harum.
Bekal itulah yang tetap diingat Fawaz sampai sekarang. Dia bilang bangga memiliki ibu seperti aku…ceile…serasa tersanjung. Padahal hanya nasi goreng biasa, orang dewasa pasti tidak doyan dengan rasanya yang hambar, namun entahlah Fawaz lebih menyukainya, sampai-sampai temannya pun ikut ketagihan.
Belum lagi ketika siang hari, saatnya aku pulang dari sekolah Fawaz. Dengan membonceng Fawaz, aku kembali menyusuri jalanan yang kiri kanannya dipenuhi pohon tinggi. Namanya Angkasa, itulah rumah kami berada di dataran tinggi. Dan sepanjang menuju rumah kami kadang dipenuhi penduduk asli yang duduk bergerombol di pinggir jalan. Entah apa yang mereka lakukan. Meski mereka tidak berniat jahat, namun melihat tampangnya saja aku ketakutan. Biasanya begitu sampai rumah, langsung kumasukkan motorku, dan kututup rapat pintu rumahku.
Ya…itulah kisahku ketika tinggal di Papua selama kurang lebih 8 tahun. Bukan berarti setelahnya aku tidak mempunyai kisah lain. Pindah dari Papua, suami kembali berdinas diluar pulau Jawa, tepatnya di Bali. Meski kehidupan di Bali lebih nyaman dari Papua, namun kami tidak berhenti berpetualang. Kami memang sama-sama asli Blitar, Jawa Timur. Dan kami hanya memiliki motor sebagai kendaraan kami.
Petualangan Selama di Bali
Awal tinggal di Bali, kami belum menempati rumah dinas yang khusus satu keluarga, melainkan kami harus tinggal bersama keluarga lain dalam satu rumah. Sementara aku masih ketakutan tentang situasi saat Nyepi kala itu. Dan ketika Nyepi datang, biasanya suami mengajakku pulang ke Jawa dengan mengendarai motor bersama Fawaz. Duh…kebayang betapa jauhnya jarak Bali - Blitar, apalagi mengajak serta Fawaz yang kala itu masih berumur 8 tahun.
motor kenangan di perjalanan (dokpri) |
Bersyukurnya Fawaz menikmati setiap perjalanan yang kami lakukan. Meski sesekali aku merasakan capek karena kelamaan dibonceng, atau Fawaz yang juga merengek karena lapar, namun perjalanan yang kami lalui terasa menyenangkan. Aku masih ingat kala hujan tiba ketika kami masih di perjalanan. Kala itu kami sedang melakukan perjalanan ke Blitar di malam hari. Hujan turun begitu lebatnya, bahkan air hujan sampai menggenangi jalanan. Bahkan, kami pun terpaksa menerima semburan air hujan dari mobil yang lajunya sangat kencang ditengah genangan air.
Begitu sampai rumah, jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Pintu pagar rumah pun sudah di kunci rapat. Dan begitu ibuku melihat kami yang datang, beliau menaruh iba pada Fawaz. Anak seusia Fawaz harusnya tidak diajak hujan-hujanan sampai kedinginan. Beliau mengkhawatirkan kesehatan Fawaz.
Atau kala malam tiba, sementara kami masih setengah perjalanan. Jalanan nampak lengang, semua rumah dan toko pada tutup. Yang terdengar hanyalah deritan ban truk yang ikut meramaikan jalanan di malam hari. Disitulah hatiku terasa sedih. Harusnya malam seperti itu aku berada diatas kasur, dan menikmati empuknya tempat tidurku, namun aku dan suami harus terjaga menyusuri dinginnya malam hari. Sementara Fawaz, hanya bisa tertidur dengan posisi duduk didepan.
kebersamaan yang indah (dokpri) |
Ah…kenangan-kenangan itu masih saja menari di pelupuk mata. Padahal kejadian itu sudah 10 tahun silam kala Fawaz masih kelas 2 SD. Masih juga teringat ketika hujan tidak juga reda di malam hari, sementara kami tengah melakukan perjalanan ke Bali. Disitulah akhirnya suami membelokkan motornya ke Paiton Resort. Kami hampir mengalami penolakan karena petugas melihat penampilan kami yang basah kuyup kena hujan. Mereka bilang harga sewa resort mahal, apakah mampu?
saat menginap di Paiton Resort (dokpri) |
Duh…kalimat itu seolah meremehkan kami, padahal meski kami hanya berkendara motor, kami juga masih punya cukup dana untuk menyewa resort semalam. Apa mungkin karena penampilan kami yang lusuh terkena hujan, sehingga mereka tega melontarkan kalimat itu?
Benar-benar sebuah kenangan yang tak terlupakan. Bahkan, airmata ini rasanya sulit terbendung ketika mengingat petualangan itu. Namun tidak demikian dengan Fawaz. Fawaz yang kini telah memasuki bangku kuliah, ternyata dengan bangganya bisa melakukan perjalanan yang tak terlupakan bersama kedua orang tuanya. Dia bisa bercerita panjang lebar kepada teman-temannya tentang kenangan masa kecilnya yang masih diingat. Bahkan, dia tetap merasa bangga memiliki ibu seperti aku, yang selalu menemaninya dalam berbagai suasana.
Meski aku seorang ibu yang jauh dari kata sempurna, namun aku bersyukur bisa menciptakan momen menyenangkan bersama keluarga kecilku, terutama Fawaz anak semata wayangku. Bahkan, ketika kami terpaksa harus tinggal berjauhan seperti sekarang, suami yang dinas di Jakarta, Fawaz yang kuliah di Malang sementara aku yang menunggui ibu di Blitar, rasa rindu itu selalu datang setiap waktu. Rindu jalan bareng, makan bersama walau sederhana atau tertawa bersama ketika nonton bareng film lucu.
Bersyukurnya kami selalu terbuka. Fawaz yang setiap waktu selalu mengabarkan kegiatannya, atau saat ia sedang jalan bareng temannya atau bahkan ia kirim foto makanan yang sedang dimakannya. Sementara aku dan suami sama-sama merasakan hal yang sama. Makan sesuatu yang enak jadi ingat Fawaz, akhirnya mengurungkan niat untuk membeli makanan itu dan beralih untuk membeli makanan yang biasa-biasa saja.
Ah…terasa melo jadinya, terlebih ketika melihat makanan kesukaan Fawaz, aku yang cengeng tiba-tiba nangis sesenggukan, dan akhirnya tidak jadi makan.
Bersyukurnya, jarak Blitar - Malang tidak terlalu jauh, Fawaz bisa pulang ke Blitar disaat libur kuliahnya. Dan biasanya momen seperti ini kami habiskan untuk jalan bareng. Seperti minggu ini kami nonton film Petualangan Sherina 2 di CGV Blitar, meski tanpa suami karena kebetulan suami sedang sibuk di Jakarta, namun kebersamaan kami terasa menyenangkan. Mengingatkan kami tentang petualangan yang pernah kami lakukan bertiga.
1 Komentar
Berpetualan emang seru, dan menambah adrenaline kita...Juooosss
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...